31. Badai Pertama

122 6 0
                                    

•••
Dua hari sudah berlalu, lailah tersenyum ketika membayangkan bahwa sebentar lagi Haidar akan menjadi miliknya.

Ia akan kembali pada tempatnya di Al-Huda
"Ummi jangan khawatir Lailah yakin sebentar lagi Laila yang akan menggantikan posisi shafiya."

Kini Lailah berbicara lewat handphone nya di belakang pondok. Sementara di sebrang sana suara tawa terdengar.

"Baguslah nak, kamu memanfaatkan waktu dengan baik."

Sementara itu di Ruangan yang Haidar tempati kini sudah terjadi kericuhan. Karena beberapa baju perempuan yang berceceran di lantai. Ada hijab dan juga rok milik seseorang yang kini sudah menghilang entah kemana.
Haidar sendiri dirinya tidak ingat. Ia hanya mengingat semalam dirinya membereskan baju-baju nya dan juga bersiap untuk kembali.

Tapi di pagi hari ini dirinya saja kebingungan karena baru pertamakali nya ia melewatkan solat subuh. Bahkan dengan keadaan kamar yang begitu kacau.

Serta pakaian yang ia kenali milik siapa itu.

"Saya bisa jelaskan..."

"Nak, kami tahu kalian sudah memiliki hubungan. Kalian memang sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menikah. Tapi kamu.membuat hal yang tidak senonoh di pondok kami."

Haidar mengusap kepalanya kasar. Ia begitu frustrasi sekarang. Bahkan ia tidak ingat apapun itu.

"Kami akan mengadu kan mu pada orang tua kalian. Itu milik Ning Lailah kan?" Tanya mereka semua. Yang sebenarnya mereka sudah tahu jawabannya.

Sementara itu di Al-Huda. Shafiya kini berhasil menjadi ketua di kelasnya. Ini sudah membuktikan bahwa ia sudah satu langkah lebih maju dibandingkan dengan yang lainnya.

Tidak disangka ternyata manjadi ketua kelas tidaklah sulit, ia hanya perlu mengatur para santri di kelasnya. Seperti saat ini, kelasnya hari ini kebagian untuk menyiram tanaman di seluruh are santri yang di khususkan untuk santri perempuan. Untuk itu ia mulai membangunkan teman-temannya. Tentu saja yang namanya santri juga manusia. Selepas melakukan solat berjamaah di masjid tadi pagi, ada saja anak-anak yang tidur kembali. Sebenarnya itu masih di lakukan oleh shafiya. Tapi untuk hari ini tidak, ia mati-matian menahan kantuk nya itu.

Setelah teman-temannya sudah kumpul ia mulai menyuruh teman-temannya untuk berbagi tugas. Shafiya sendiri memilih menunggu di pondok kecil yang ada di sekitar halaman pesantren. Ia mulai menggunting daun-daun yang sebenarnya sudah mulai mengnguning. "Shaf, ini airnya." Shafiya menoleh itu adalah Aul.

"Sini, kamu gak papa kan bolak balik?" Tanya shafiya memastikan. Ia memang mengambil tugas paling mudah. Karena dirinya takut akan berbahaya untuk kandungan nya. Jika harus mengangkat air dari sumur yang letaknya saja di belakang pesantren, dibangunan yang sudah tidak di gunakan. Tempatnya dulu untuk bersembunyi.

"Gak papa kok, lagi pula gini enak, bisa ketemu sama yang lain juga." Ujar Aul

Shafiya pun menuangkan air dari ember itu ke ember miliknya, yang akan ia gunakan untuk menyiram tanaman.

Setelahnya ia memberikan ember kosong itu pada Aul. Shafiya sudah selsai dengan tugasnya. Ia kemudian memastikan untuk melihat yang lainnya. Ternyata teman-temannya sudah menyelesaikan tugasnya. Mulai dari Menyapu, Mencabut rumput, dan mengepel bagian masjid untuk area putri.

"Ini lebih cepat dari perkiraan, dulu kalau sudah kebagian jadwal gini pasti telat. Tapi ini jam 7 kurang 15 menit kita sudah selsai." Itu adalah suara jasmine.

"Karena kita membagi tugasnya, ada yang menyapu halaman, mencabut rumput dan menyiram tanaman. Itu di kerjakan dalam waktu bersamaan. jauh lebih baik lebih menghemat waktu dari pada kita berkumpul jadi satu mengerjakan satu kerjaan. Mungkin cepat selesai, tapi masih memakan waktu. Karena Al-Huda sendiri sangatlah besar. Sedangkan kita hanya berjumlah 25 orang." Jelas shafiya

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang