LIMA PULUH LIMA

114 8 0
                                    

                                         •
                                         •
                                         •

"Ko ayam?"

"Pikir aja sendiri"

Mereka berjalan memasuki rumah yang tak terlalu mewah itu, rumah khas kota bandung. Nadzira suka, disana terdapat beberapa barang tradisional yang orang dahulu punya bercampur dengan hiasan modern sekarang. Interior rumah yang bagus.

Nadzira hanya diam, tapi bibirnya mengukir senyum yang begitu indah.

"Assalamu'alaikum, eyang" Farhan menyalami eyangnya di ikuti dengan Nadzira.

"Eyang, ini Nadzira istri aku," Ucap Farhan. Nadzira tersenyum kikuk, kagum pada pahatan wajah sempurna keluarganya Farhan. Ta adiknya, sekarang eyangnya. Dan satu lagi yang Nadzira tak mengenalinya, pria di sebelah eyang.

"Eyang aku Nadzira," Ucap Nadzira tersenyum hangat.

Eyang membalas senyuman Nadzira, menarik tangan gadis itu. Lalu mencium hangat pipi kiri dan kanan Nadzira. Nadzira terdiam saat eyang melakukan itu.

Farhan menunjuk pada Tio. "Ini Tio, adik kedua aku," Tio tersenyum ramah menyatukan tangannya tanda salam kenal.

MIRIP. Itu yang Nadzira katakan dalam hati, wajah adik perempuannya Salwa sekarang Tio. Mereka memang benar-benar Mirip, pahatan wajah yang sempurna.

"Ayo sayang duduk, eyang baru saja tadi memasak pisang goreng. Kamu suka?" Tanya eyang dan mendapat anggukan antusias Nadzira.

"Kak gimana kabarnya Umi sama Abi? Tio kangen, udah lama gak ketemu" Ucap Tio dengan raut wajah sedih.

"Umi sama Abi alhamdulillah, mereka sehat. Kamu sendiri gimana? Kuliahnya lancar?"

Saat Tio ingin menjawab, Salwa lebih dulu memotongnya. "Gak kak, kemarin aja bang Tio kena skors gara-ga"

"ASTAGFIRULLAH TIO POHO (lupa) , MAU NGERJAIN TUGAS. BESOK LAGI YA KAK NGOBROLNYA," Pria itu cepat-cepat masuk kedalam kamarnya sebelum mendapatkan kultum dari Kakaknya.

"Dih katanya jagoan, aku belum bilang apa-apa aja udah kabur. Bang Tio aneh."

Tio memunculkan wajahnya di balik pintu. "Diem cil. Tidur sana dah malem, ges peuting ieu" Tio menutup kembali pintunya.

"Dih, bilang aja abang takut aku aduin ke kak Farhan"

"Sudah-sudah mending sekarang kalian tidur, bawa istrimu untuk ke kamar nak kasian pasti cape," Kata eyang.

"Iya eyang, aku ke kamar ya"

Percakapan malam ini di tutup dengan perdebatan kakak beradik itu. Rumah ini tidak pernah sunyi, selalu saja di isi oleh kelakuan random Salwa dan Tio. Walaupun rumah ini hanya di isi oleh tiga orang dan tidak terlalu mewah. Tetapi rumah ini selalu saja ramai. Berbanding terbalik dengan rumah yang mewah, dan di isi oleh benyak orang tetapi di dalamnya seperti rumah horor, dan mungkin sebagian orang tidak mendapatkan keramaian di dalamnya.

                                  •••••

Malam terasa begitu cepat. Cuaca pagi ini sangat cerah, burung-burung berkicau berterbangan di atas langit Biru. Mendukung sekali untuk pagi ini berolahraga berjalan kaki dengan pemandangan kebun teh dengan pengunungan.

Tio mengeluarkan sepeda yang sudah lama tak ia gunakan. Pria itu akan berolahraga untuk mengayuh sepeda berkeliling desa ini. Tio tak sendiri ia mengajak adiknya Salwa untuk bersepeda.

Cinta berawal dari pesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang