Jakarta tidak pernah absen dari kesibukannya. Entah itu pagi ataupun malam, Jakarta tidak pernah punya penghalangnya. Lampu-lampu jalanan yang masih terang, kendaraan beroda terus melintas di atas aspal. Bunyi kereta cepat menggilas rel berkarat. Gedung-gedung tinggi pencakar langit sudah menjadi ciri khasnya.
Hari ini hujan. Rintiknya mengembun di kaca jendela yang tak tertutup gordennya. Bisingnya hujan dikalahkan dengan bising suara TV. Di depannya, anak kecil menatap layar TV dengan posisi duduk bersila sembari bersandar di punggung sofa.
Sang ibu datang, membawa secangkir susu hangat yang diletakkan di atas meja bundar. Wanita paruh baya itu duduk di sebelah putrinya.
"Fidza, udah malem. Gak mau tidur?" tanya sang ibu.
Fidza mengalihkan pandang menatap ibunya. "Bapak belum pulang, Bu." Kedua mata kecilnya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam, namun sang bapak masih tak kunjung datang.
"Mungkin bapak pulangnya—"
"Assalamu'alaikum."
Ucapan Asyiah terpotong oleh seorang yang mengucapkan salam dari arah luar. Bibir kecil Fidza membentuk sebuah kurva. Lantas gadis itu berlari menuju pintu rumahnya.
"Bapak! Fidza kangen!"
Umar memerima pelukan hangat putri kecilnya. Rasa lelahnya seketika sirna. Bibir tebalnya tersenyum sempurna. Umar membawa Fidza ke dalam gendongannya. Sementara satu tangannya memegang kresek hitam.
"Bapak kok lama pulangnya?"
Kresek hitam yang dibawa Umar di angkat ke atas. "Ini, bapak habis ngantri beliin Fidza martabak, makanya lama."
Pupil matanya membesar. "Waah, martabak!" serunya. "Ayo makan bareng ibuk!" ajak Fidza di gendongan Umar.
Umar terkekeh melihat keantusiasan putri kecilnya. Langkahnya membawa ia ke ruangan di mana sang istri berada. Fidza turun dari gendongan sang bapak. Kresek hitam itu dibuka. Aroma martabak seketika menyeruak ke dalam indra penciuman. Mereka bertiga duduk melingkar, martabak bawaan sang bapak ada di tengah-tengahnya.
Di bawah guyuran hujan yang menerpa Jakarta. Keluarga kecil itu menikmati martabak di depan layar televisi yang masih menyala. Kehangatan yang menjalar meski hawa dingin dari luar. Kebahaiaan yang sangat bermakna. Dan tidak semua keluarga bisa melakukannya.
"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an."
Ada jeda beberapa detik sebelum Umar dan Asyiah tertegun bersamaan. Suami-istri itu saling bertatapan heran.
"Kenapa mau jadi penghafal Al-Qur'an? Coba ceritain sini." Umar membawa Fidza yang asik memakan martabak duduk di atas pangkuannya.
"Kata pak Ustadz, penghafal Al-Qur'an itu bakal diviralin di depan seluruh makhluk yang dihisab. Karna penghafal Al-Qur'an itu spesial, beda dari yang lain."
Fidza mengulang kembali ingatannya pada waktu sore tadi. Para anak-anak seusianya saling duduk bersila, mendengarkan sang Ustadz bercerita.
"Allah tampilkan dalam Al-Qur'an, satu-satunya amalan yang memungkinkan seseorang mendapatkan kemuliaan besar dari dunia, alam kubur, bahkan sampai akhirat itu adalah Al-Qur'an. Penghafal Qur'an akan ditunjukkan dan diviralkan di depan seluruh makhluk yang dihisab. Karna penghafal Al-Qur'an itu spesial, beda dari yang lain."
Fidza setia mendengarkan cerita dari Ustadz-nya.
"Allah berfirman; 'Hei, ini ahli Qur'an. Pakaikan pakaian sutra kepadanya, berikan gelang-gelang emas, berikan jubah terindah. Kata Nabi juga, 'ya Allah, hiasi ahli qur'an ini, bedakan dengan yang lain'."
Tidak ada yang bicara, mereka sama-sama menyimak apa yang disampaikan Ustadz-nya.
"Maka dipakaikan mahkota dikepalanya. Lalu dipanggillah kedua orangtuanya. 'Pakaikanlah mahkota ini di atas kepala ke-2 orang tuamu yang telah menyalurkan doanya, peluh keringatnya untuk menjadikan engkau seorang penghafal Al-Qur'an'. Maka anak itu memakaikan mahkota indah bercahaya. Dipakaikan pada anak itu jubah kehormatan, lalu dia menggandeng bapak-ibunya, pasangannya, dan seluruh anggota keuarganya yang beriman, diparadakan melewati semua pintu-pintu surga, dan disambut oleh semua malaikat."
"Gitu ...."
Fidza mengakhiri ceritanya. "Alasan Fidza pengen jadi Al-Qur'an, karna Fidza pengen ngasih mahkota ke Ibuk Bapak. Suapaya nanti, tetangga-tetangga di sini sama-sama takjub dan heran. Supaya mereka nggak berani lagi hina Ibuk sama Bapak."
Terenyuh hati Asyiah mendengar kalimat itu keluar dari bibir mungil putrinya. Susu buatannya mungkin sudah mendingin, akibat terlalu lama untuk diminum. Satu menit utuh ruangan itu dilingkupi keheningan. Hujan sudah berhenti, namun rintik-rintiknya masih terdengar.
Di antara keheningan itu, suara dengkuran halus tiba-tiba terdengar. Baik umar maupun Asyiah menatap pada putri kecilnya yang terlelap di dalam rengkuhan sang bapak.
Umar terkekeh. "Tidur? Baru aja selesai cerita, malah langsung tidur."
Asyiah menggelengkan kepala. "Aamiin. Semoga impian Fidza bisa jadi nyata, ya, Nak." Tangannya membelai rambut Fidza yang terlelap. Umar mengangguk, ikut mengiyakan perkataan istrinya.
"Fidza, semoga apa yang kamu impikan bisa kamu wujudkan. Jadi penghafal Al-Qur'an banyak rintangannya, Nak. Tapi bapak bakal selalu do'ain Fidza, semoga di akhirat nanti Fidza bisa beneran ngasih mahkota."
Perkataan Umar diakhiri kecupan hangat di kepala Fidza. Layar TV itu dimatikan. Di dalam gendondongannya, Umar menidurkan Fidza di atas kasurnya. Awan mendung masih mengiashi langit malam. Tidak ada sinar bulan apalagi kerlap-kerlip bintang. Dan entah untuk yang keberapa kalinya. Hujan kembali datang menerpa kota Jakarta. Bersamaan dengan lelapnya sepasang keluarga cemara.
Bersambung
Author's notes
Haloo ....
Alhamdulillah, saya bisa mendebutkan cerita keempat saya ini. Di mana ceritanya berbeda dengan ketiga cerita saya yang lain, latarnya, tokoh-tokohnya, alurnya, dan juga genrenya. Semoga cerita saya bisa bermanfaat serta menghibur kalian semuaaaa
Welcome di new story ... HAFIDZAH
- Cerita ini, 50% fiksi, 50% terinspirasi di dunia nyata. Namun saya membuatnya MURNI dari pemikiran saya sendiri
- Jika ada kesamaan nama tokoh/latar/alur, murni KETIDAK SENGAJAAN
- Jika ada kesalahan penulisan, kosa kata, typo, mohon ditegurBangkalan, 16/04/2024
©copyright 2024 ceritacruyff_
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...