Hal ini kembali Fidza rasakan. Suasana perlombaan. Dirinya kembali merasakan debaran yang tidak mengenakkan. Kedua mata Fidza diedarkan. Gadis itu menatap santri-santri di sebelahnya yang fokus mendengarkan penampilan santri di depan sana.
"Fidz, nggak usah tegang."
Cetusan itu berhasil membuat Fidza menolehkan kepala. Gadis itu bersitatap dengan Ustadzah Salisah yang kini menjadi pendampingnya. Mereja tidak hanya berdua, Ning Nayla menyuruh seorang abdi ndalem untuk menjadi supir. Sebab Ning Nayla sendiri tengah berhalangan untuk hadir.
"Hehee, iyaaa, Ustadzah," balas Fidza.
Lomba kali ini berbeda dengan lomba yang kemarin. Jika kemarin lombanya berjenis banyak, maka sekarang hanya lomba fidato saja. Namun kesamaannya juga tentunya masih ada. Lomba ini sama-sama diadakan di salah sau Pondok Pesantren tetangga. Nah, bedanya, kalau yang kemarin diadakan oleh pengasuh Pondok Pesantren-nya, kalau sekarang diadakan oleh para santri-santrinya.
"Kamu tau kenapa orang-orangan itu bisa lancar tampilnya?" Jemari telunjuk Ustadzah Salisah menunjuk peserta yang tampil di depan sana.
Kepala Fidza kembali menatap ke depan. Gelengan dua kali ia berikan. "Nggak tau, Ustadzah."
"Mereka tuh sama aja gugupnya kayak kamu, tapi gugupnya mereka bukan gugup yang bikin down. Mungkin mereka udah berusaha dengan gigih buat ini-itu sehingga performa mereka nggak ada yang turun. Sama juga kayak kamu, nggak usah gugup berlebihan, nanti kamu blank."
Fidza meneguk ludahnya. "Iyaaa, Ustadzah." Kepalanya kembali dianggukkan.
Namun perkataannya berbeda dengan kejadiannya. Kedua tangan Fidza beserta kakinya masih gemetaran. Debaran di dadanya tak kunjung menghilang. Melihat nomor urut peserta di depan adalah nomor urut tampil sebelum dirinya. Rasa gugup itu kian mendera. Fidza merasakan sakit pada perutnya. Hal yang biasanya dirinya alami ketika merasakan kegugupan.
"Peserta selanjutnya, dengan nomor urut 5. Hafidzah Putri Asyiah, delegasi dari Pondok Pesantren Al-Islamiyah."
Tepukan tangan meriah. Ustadzah Salisah tersenyum pada Fidza dan mengucapkan kata semangat. Si gadis menanggapinya dengan angggkan serta senyuman. Kedua kakinya membawa dirinya berjalan menuju pangung penghormatan.
Rasa gugup yang dialami Fidza diabaikan. Gadis itu menatap penonton dengan senyuman yang tercipta dikedua bibirnya. Tanpa peduli kedua kakinya gemetaran dibuatnya. Napasnya diambil dan dihembuskan secara perlahan.
Ini adalah yang kedua kalinya. Maka Fidza harus bisa!
***
Lingkungan di sekitar sini cukup tentram. Bangunan yang belum selesai pembuatannya dapat Fidza lihat. Pesantren ini terbilang cukup besar. Para santri-santrinya terlihat saling bekerja sama membantu panitia melancarkan acara perlombaan yang diadakannya.
Fidza terus menunggu pengumuman kejuaraan itu diumumkan. Peserta fidato sudah selesai tampil bergiliran. Kini mereka menduduki sebuah mushalla yang disediakan untuk melaksanakan sholat Dzuhur.
"Udah selesai, Ustadzah?"
Pertanyaan itu berasal dari seorang remaja yang diperintahkan oleh Ning Nayla untuk menjadi supir Ustadzah Salisah dan dirinya. Remaja itu memiliki tinggi yang hampir sama dengan Fidza. Manaf, namanya.
"Udah, tinggal nunggu pengumumannya aja. Sambil lalu saya sama Fidza mau sholat dulu. Kamu udah?" Ustadzah Salisah meletakkan roti kotak beserta dengan sebotol air yang disediakan panitia lomba sebagai konsumsi selama acara.
"Saya sudah, Ustadzah," jawab Manaf. Kepalanya ditundukkan.
"Yauda kalo gitu, kamu jagaian aja ini rotinya, takut dibawa pergi orang. Kan eman," suruh sang Ustadzah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...