"Shadaqallahul'adzim."
Buku raport itu ditanda tangani. Senyuman merekah masih tidak bisa sirna dari wajah Fidza. Gadis itu menatap Ustadzah Salisah yang masih menanda tangani raport hafalannya.
"Semangat terus ngafalnya, ya." Sang Ustadzah memberikan raport itu kembali pada pemiliknya.
Kepala Fidza dianggukkan. "Makasih, Ustadzah."
Kedua kaki gadis itu yang terbalut oleh sendal tipis melangkah menuju bangkunya. Di mana di sana masih ada Zeta yang senantiasa menatap kagum pada dirinya.
"Jadi, Mbak Fidza udah hafal berapa juz?" tanyanya.
Fidza menipiskan bibirnya. Dirinya menduduki kursi kayu dengan nyaman. "Alhamdulillah, udah 15 juz," tuturnya.
Kedua mata Zeta berbinar. "Uwaw, mezing bangat. Aku aja masih 10 juz," ucap gadis itu. Gigi gingsul di sebelah kanan itu menjadi ciri khasya.
Fidza terkekeh. "Nggak mezing juga kali. Masih ada Nabila yang hafalannya udah 18 juz, ada Tia sama Lia yang juga udah 17 juz. Terus juga kan masih ada Naura sama Hilaya yang udah 15 juz, bukan cuman aku."
Kepala Zeta diangguk-anggukkan. "Tapi Mbak Fidza masuk salah satu di antara mereka yang hafalannya cepet udah kayak roket keluar angkasa aja."
Fidza kembali terkekeh. "Yaa, yang penting kamu selalu ngafalin dan usaha buat nargetin kalo bisa. Semangat terus!" seru Fidza. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya.
Kepala Zeta dianggukan satu kali. "Makasii, Mbak!"
Fidza menampilkan senyumnya. Kedua matanya menerawang ke depan. Gadis itu sedang berada di dalam suasana hati yang senang sekarang. Pikirannya terbayang-bayang, bagaimana jika nanti dirinya akan memberikan sebuah mahkota kepada ibu-bapaknya. Ketika nama yang diberikan oleh bapaknya dipanggil dengan nyaring untuk diwisuda. Fidza tidak dapat menahan kebahagian di dalam hatinya.
Gadis itu menatap raport berwarna kuning yang ada di tangannya. Tinggal setengah jalan lagi, maka cita-cita Fidza kecil akan dapat terwujudkan. Semua usahanya akan mendapatkan hasilnya. Proses panjang yang telah Fidza lalui akan mencapai akhirnya.
"Bismillah, semoga Fidza beneran bisa!" gumamnya.
***
"Cewek."
Fidza menolehkan kepala. Ia dapat menangkap figur Vivi yang tengah berjalan mendekatinya. "Jangan sok asik bambang, kita nggak musuhan," cercah Fidza.
"Eleh eleh sia euy. Si eneng teh geulis pisan," lontar Vivi mendudukkan dirinya di dekat Fudza.
Alih-alih menjawabnya, Fidza tertawa lebih dulu. Gadis itu terpingkal-pingkal mendengar nada bicara Vivi barusan. Sedangkan Vivi, gadis itu keheranan. Di mana letak kelucuannya?
"Apaan sih, ketawanya gitu banget." Kepalanya digaruk-garuk kebingungan.
"Coba ngomong lagi, Vi. Kamu tuh nggak pantes kayak gitu, aksen Nadura-nya disuruh ngimbangi logat Sunda. Yo ndak mampu lah," cetus Fidza. Gadis itu kembali tertawa.
Vivi menyengir. "Owalahhh. Eh emang itu bahasa Sunda?" tanyanya.
Tawa Fidza sontak reda kala itu juga. "Nggak tau juga, sih ...."
Vivi memukul kepala. "Alamat salbut ... salbut ...." Kepalanya di geleng-gelengkan secara pelan.
Fidza kembali terkekeh. "Nah, itu baru bahasa yang cocok buat kamu Vi. Kalo tadi mah apa, aksennya nggak nyambung sama sekali," seloroh Fidza
Vivi tertswa. Sepersekian detik gadis itu mengingat maksud tertentu kedatangannya kemari untuk menemui Fidza. "Eh cuy, kamu dipanggil Ning Nayla. Di suruh ke ndalem."
Fidza mengernyitkan dahi. "Seriusan?" tanyanya.
"Eee ha'a lah, kalau kau tak percaye, sana kau jumpe beliau je." Kali ini, Vivi berbahasa Malaysia.
Fidza tergelak. "Betul betul betul ke ni?"
Vivi mengernyitakn dahi tak mengerti. "Hah? Gimana-gimana?"
Kala itu juga yang lebih tua langsung mendatarkan muka. "Nggak jadi." Lantas gadis tu segera pergi dan mengucapkan salam. Meninggalkan Vivi yang masih keheranan dengan maksud Fidza.
Ndalem Kiyai dan Nyai tidak begitu dekat dengan asrama. Jaraknya berada di dekat gerbang utama dan dekat dengan madrasah. Sandal Fidza dilepaskan. Gadis itu menunduk dalam sembari memasuki ndalem.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam. Akhirnya dateng juga."
Fidza terkekeh garing. Ia segera menghampiri Ning Nayla dan menyalami punggung tangannya. Seorang bayi berusia 5 bulan ada digendongan beliau.
"Ada apa ya, Ning?" Kedua mata Fidza menatap lantai. Tentu saja akan terkesan tidak sopan jika berbicara dengan anak Kyai dan Ibu Nyai dengan kedua mata yang melotot, kan.
"Kamu ikut lagi lomba fidato, mau ya?"
Fidza meneguk ludah. Ia terdiam seketika. "Loh, kok saya lagi, Ning?"
"Ya karena emang kamu yang bakat di fidato, Fidz. Kemarin itu kamu cuman kalah gugup aja. Mental kamu belum siap kayaknya," kata sang Ning.
Fidza menghela napasnya. Pikirannya kembali tertuju pada lomba kala itu.
"Lombanya itu sekitar 2 hari lagi."
What the—
Kedua mata Fidza lantas membola.
"Kamu udah didaftarkan jadi perwakilan sini. Teks yang kemarin masih kamu hafal, kan?" tanya sang Ning.
Dengan ragu Fidza menganggukkan kepala. "Nah, yaudah biar kamu nggak ngafalin lagi, pakek teks fidato yang kemarin aja."
Sejujurnya ini terlalu tiba-tiba bagi Fidza. Gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya pasrah. Menuruti kemaunan Ning-nya. Meski ingin rasanya sebagian dari hatinya menolak. Mendengar nama lombanya saja Fidza sudah setengah mati gugupnya. Apa lagi jika nanti kembali diulangi dirinya berdiri dengan stan mic di depan seluruh peserta lomba.
O-ouh, sepertinya Fidza kembali akan merasakan gerogi.
Setelah pembicaraan yang cukup panjang itu, Fidza diizinkan untuk pergi. Selesai menyalami punggug tangan Ning Nayla, gadis itu berdiri dan membalikkan badannya. Kedua langkah kakinya membawanya menuju teras ndalem.
"Astaghfirulloh."
Kedua kaki Fidza berhenti melangkah. Sebab di ambang pintu, dirinya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang kemarin-kemarin sempat menjadi pengganggu dan penyakit pikirannya.
"Maaf, Gus," cetus Fidza. Kepalanya masih ditundukkan.
Si laki-laki menganggukkan kepala. Badannya dimundurkan, memberikan akses berjalan untuk Fidza. Mengerti dengan maksud kemunduran Gus Ramzi, Fidza segera melangkahkan kakinya kembali. Kepala gadis itu maish menunduk dan enggan untuk mendongak. Fidza sangat takut jika harus jatuh cinta lagi.
Dari kejauhan, tatapan kecemburuan dilayangkan oleh seseorang berbaju putih itu. Hatinya merasakan panas yang menggelora kala melihat pemandangan di ambang pintu ndalem. Meskipun hal itu terjadi karena ketidak sengajaan, dirinya tetap merasakan yang namanya kecemburuan.
"Seandainya saya bisa, saya halalin juga kamu sekarang."
Seperti rasa cemburu yang hanya sebatas pengagum rahasia. Seperti rasa suka yang hanya mampu ditahan hingga dirinya merasakan yang namanya jatuh cinta.
Di sini, laki-laki itu tersiksa oleh perasaan cemburunya karena rahasia cinta dalam diamnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...