Tidak akan ada yang abadi di dunia. Semuanya sama-sma bergiliran untuk mati. Ketika ajal menjemput, mau kita lari sejuh apapun, pasti akan berujung mati. Yang perlu disiapkan adalah amal, amal, dan amal.
Bekal kita diakhirat sudah terpenuhi atau tidak. Itulah yang harusnya ditanyakan setiap hari. Itulah yang seharusnya dipikirkan setiap saat. Itulah yang seharusnya kita renungkan setiap malam.
Bukan hanya berleha-leha di atas dunia ini. Bukan hanya bersenang dan bersantai di atas tempat hukuman Siti Hawa dan Nabi Adam. Kita adalah manusia yang sama-sama menunggu giliran untuk mati. Lantas apa yang akan kita banggakan jika di akhirat nanti, alam kubur menjadi tempat peristirahatan terakhir?
Fidza menyapui lantai rumahnya. Sudah 7 hari kematian sang bapak, dan 7 hari itu pula Fidza merasakan kekosongan yang melanda di hatinya. Bapak adalah sosok yang utama di dalam rumah. Tiba-tiba kehilangan dirinya, tentu tidak akan begitu mudah bagi penghuni rumahnya.
"Fidza gimana hafalananya?"
Kepala Fidza ditolehkan. Sang ibu ada di atas sofa. Bersama dengan Amar yang memakan jajan. Marwa duduk di bawah karena ia sedang belajar. Untuk mengejar pelajaran yang tertinggal selama libur sekolah karena bapak meninggal. Halwa dan Salwa tengah pergi keluar. Keduanya sama-sama bilang ingin membeli jajan.
"Alhamdulillah lancar, Bu."
Fidza meletakkan sapunya dan mendekati sang ibu. Duduk lesehan bersama dengan Marwa. Gadis itu meminum air dingin yang disediakan di atas meja.
Asyiah mengembuskan napasnya. Kepalanya ia senderkan pada sofa. "Yang semangat ngafalnya ya, Fidz. Biar kamu bisa menuhin impian bapak punya anak tahfidz 30 juz," jelas sang ibu.
Fidza menolehkan kepala. Dirinya terdiam sejenak. "Buk, apa Fidza berenti mondok aja?"
Pertanyaan itu membuat Asyiah mengalihkan atensinya. "Kenapa mau berhenti?" Kerutan di dahinya yang sedikit keriput tercipta.
Menggigit bibirnya, Fidza tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. "Fidza cuman takut, biaya Pondok Fidza jadi ngeberatin ibuk. Fidza nggak mau bikin ibu jadi stres mikirin biaya Pondok Fidza. Belum lagi juga biaya sekolahnya Marwa, Halwa, Salwa sama Amar."
Asyiah mengembuskan napasnya. Fidza selalu jadi anak yang memikirkan hal-hal kecil yang mungkin akan menyulitkannya. "Nggak papa, Fidz. Ibu bisa jualan di depan rumah. Ibu bakal usahain biaya sekolah kalian tercukupi dan terlunasi. Biar anak-anak ibu bisa kayak anak-anak orang di luara sana."
"Tapi Bu ...."
"Fidza nggak mau ngewujudin impian bapak buat punya anak yang hafal 30 juz Al-Qur'an?" Sang ibu bertanya.
Fidza terdiam. "Nggak gitu, Buk. Tapi kan Fidza masih bisa hafalan di rumah sambil kerja. Biar Fidza bisa bantu ibu cari uang," jelas sang anak. Berusaha memaparkan dengan perlahan apa yang dirinya maksudkan.
Fidza mengerti. Keluarganya bukan berasal dari orang kaya. Bapak tidak akan memberikan mereka warisan. Dan ibu akan kesusahan mencari uang untuk makan. Lalu apakah Fidza hanya bersenang-senang di Pondok tanpa mempedulikan keluarganya di sini yang kesusahan.
"Fidza nggak mau cuman seneng-senengg di Pondok, sementara di sini ibu susah-susah cari uang buat makan. Buat biaya sekolah sama biaya pondoknya Fidza."
Asyiah menegakkan dirinya. Wanita paruh baya itu mengusap wajahnya dengan pelan. "Siapa yang bilang Mbak Fidza di Pondok buat seneng-seneng doang? Mbak kan di sana buat belajar, buat ngehafal Al-Qur'an. Lagi pula biaya pondoknya Mbak Fidza nggak terlalu mahal," jelas Asyiah.
Fidza merapatkan bibirnya. Ia kehabisan kata-kata. Tapi dirinya tidak bisa hanya terus diam menyaksikan keluarganya yang kesusahan tanpa kehadiran tulang punggung keluarga. "Tapi bu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...