Bab 38 - Biasalah

18 2 0
                                    

Jangankan Vivi, Wihsa dan Rysfa jadi orang terkaget setelah Fidza menceritakan Shani yang katanya telah sadar. Wisha jadi orang pertama yang membantah kenyataan itu, sedangkan Rysfa jadi orang kedua yang mempertanyakan kebenaran hal itu.

"Iyaaaa bener. Ini Shani udah berubah, kok." Ucapan Fidza bertujuan pada Rysfa dan Wisha.

"Yaelah, jangan liatin gitu amat kali," cetus Shani.

"Ih nggak Mbak Fidz! Tuh Mbak Shani nggak berubah. Dia tetep manusia, kan."

Terjadi keheningan beberapa detik sebelum Fidza menepuk jidatnya pelan. Vivi menampilkan senyuman. Rysfa tercekik tertahan, dan Shani melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jadi maksud kamu tuh berubah yang kayak itu, ya. Aku kira kamu nanyain berubah itunya," gemas Rysfa.

Wihsa mengernyitkan dahi. "Itunya?" Kepalanya dimiringkan.

"Udah deh skip!" Ryafa memejamkan kedua bola matanya geram.

"Intinya, Shani udah berubah ke jalan yang lebih baik lagi. Gitu," ujar Fidza. Kembali memberitahukan.

"Bagus, deh. Tetep istiqamah aja ya, Shan," lontar Vivi menampilkan senyumannya.

Shani menyengir lebar, "aamiin."

"Eh katanya nanti ada majlisan tau." Rysfa tiba-tiba bertutur. Gadis tomboy itu menjadi heboh dan antusias sendiri.

Salah satu alis Fidza diangkat. "Apa itu majlisan?" tanyanya.

"Majlisan itu kayak shalawatan ituloh, Fidz. Ada panggungnya, ada grup hadrohnya, ada vokalnya, terus ada penontonnya," jelas Vivi. Kepala Fidza dianggukkan mengerti.

"Di mana, Rysf?" Kini Shani yang bertanya.

Rysfa langsung mencerahkan senyumannya. "Nahh, kebetulan katanya mau di adain di sini tauuuu."

"Di sini?" Kening Fidza dikernyitkan lagi. Anggukan dari Rysfa membuat kepala Fidza dimiringkan. "Terus panggungnya?"

"Yaa mungkin nanti sore bakal di pasang sama bagian santri laki-laki," sahut Shani.

"Terus grup hadrohnya?"

"Ya dari santri laki-laki juga. Kan Pondok sini juga punya hadroh, siiii," balas Vivi menimpali.

"Masa sih? Emang siapa yang jadi vokalnya?" Fidza masih bertanya.

"Ustadz Amin."

Mulutnya menganga. "Ustadz Amin?"

Rysfa, Vivi, dan Shani mengangguk serempak. "Iyaa, Ustadz Amin," balas Wisha.

***

Dentuman suara calti menggema. Nyanyian sanjungan shalawat kepada sang baginda Nabi memenuhi arena. Lapangan itu sesak akan para santriwan dan santriwati. Pemisah yang berada di tengahnya tidak akan membuat kedua santri berbeda jenis itu saling pandang menandang.

Panggung besar berdiri di tengah lapangan sana. Sejumlah grup hadroh yang katanya dari Pesantren ini tengah sibuk dengan alat musiknya sendiri-sendiri. Setelah selesai pembacaan tahlil bersama tadi, kini giliran pembacaan shalawat kepada Nabi.

Fidza ada di bagian sini. Di barisan hampir paling belakang sekumpulan para santriwati. Memakai hijab berwarna putih, baju putih serta rok berwarna hijau. Pemandangan ini sungguh membuat Fidza terpukau.

Sepasang irisnya menatap ke depan. Di atas panggung sana, tepatnya dibarisan paling depan, ketiga vokalis itu sama-sama memegang mic dan melantunkan shalawat kepada sang baginda. Disertai keluarga ndalem beserta jajaran Ustadz-Ustadz yang berada di bagian depan.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang