Kipas itu membuat ruangan ini terasa lebih sejuk. Sofa yang menempel pada dinding diduduki oleh sosok wanita paruh baya yang menjadi panutan seluruh santriwati di Pondok.
Kedua kepala itu saling menunduk dengan khidmat. Tanpa ada yang berani mendongakkan kepalanya. Ribut di dapur tadi sudah selesai. Karena Ustadzah Dalwa yang melerai. Padahal jika diteruskan, kemungkinan saja akan ada tarik-tarik hijab dan jambak rambut part ketiga.
"Kalian kenapa bisa seperti itu? Apakah kalian tidak jenuh bertengkar terus?"
Mereka mendengar pertanyaan itu. Fidza jadi orang pertama yang tertegun. Mendengar suara yang sangat sopan mengalun indah di relung telinga membuatnya kembali merasakan yang namanya terpesona dengan Ning Nayla.
Kedua kakinya ditekuk, kepalanya menunduk. Tidak, Fidza dan Shanu tidak duduk di atas sofa. Melainkan duduk di atas karpet berbulu yang disediakan di depan Ning Nayla. Hanya beliaulah yang duduk di depan sofa.
"Mohon maaf, Ning. Tapi saya tidak akan seperti itu kalo Shani-nya yang nggak mau cari gara-gara."
Mungkin Ustadzah Dalwa sudah kehilangan kesabarannya mengurusi dirinya dan Shani. Maka dari itu dia menyerahkannya kepada Ning Nayla. Sial, jika seperti ini, mungkin nama Fidza akan berada di buku keamanan sebanyak 3 kali.
"Maaf, Ning. Tapi Shani juga nggak akan kayak gitu kalo Fidza yang nggak mulai duluan."
Fidza melirik Shani dalam diam. Jika mereka terus saja berdebat dan tidak mau mengalah, maka dipastikan sesi pertengkaran ini akan berlanjut part ke-3. Meskipun di depan Ning Nayla, dan di ndalem Kiyai dan Nyai.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Pria paruh baya itu memegang tongkat, di sebelahnya terdapat sosok wanita paruh baya yang menuntun sang pria. Fidza melirik ke atas, kemudian dirinya berdiri dan dengan khidmat serta penuh hati-hati menyalami punggung tangan Kiyai dan Nyai.
"MaasyaAllah ... kenapa kalian berdua ada di sini?"
Itu adalah suara sang Ibu Nyai. Memilih tidak menjawabnya dan menundukkan kepalanya saja, Fidza kembai mendudukkan dirinya ke tempat semula ketika melihat sepasang suami-istri pengasuh Pondok Pesanatren ini sudah duduk di atas sofa dengan nyaman.
"Dalwa tiba-tiba nyerahin 2 santri ini yang katanya udah berantem ke-3 kalinya, Bi, Mi. Mungkin Dalwa depresi kali," beritahu Ning Nayla.
Fidza meneguk ludahnya kasar. Jika sudah berhadapan dengan Nyai dan Kiyai, apalah daya dirinya yang hanya bisa manut.
"Oiya, bicaranya pakek bahasa Indonesia dulu, Bi, Mi. Karena ini kan ada salah satu santri yang dari Jakarta itu lohh. Khawatirnya kalo Abi sama Umi bicara pakek bahasa Madura, dianya nggak ngerti," jelas Ning Nayla lagi.
Ahh, kenapa beliau sangat pengertian sekali? Fidza tidak salah terpesona. Dalam diam dia melirik sang Ning yang terkekeh.
Maasyaallah, udah punya anak 4 aja luar biasa cantik anda Ning ....
"Jadi gini, Nak. Saya udah dengar dari Ustadzah Jannah dan Ustadzah Dalwa tentang kamu yang memiliki hubungan yang bernama pacaran dengan santri lain?"
Fidza sedikit mengernyitkan keningnya. Ustadzah Jannah? Tunggu ... jangan bilang sang Ustadzah mendengar dirinya yang berbicara di telpon dengan sanga keluarga?
Di sebelah Fidza, Shani meneguk ludah. Kepala gadis itu dianggukkan secara samar. Setelah diketahui oleh Ustadzah Dalwa, ternyata kelakuannya sudah sampai pada telinga Kiyai dan Nyai?
Wah ... sepertinya Shani memang harus menghajar Fidza betul-betul kali ini.
"Sejujrnya saya kaget mendengar ceritanya Ustadzah Jannah dan juga Ustadzah Dalwa, Nak. Saya merasa, Ustadz dan Ustadzah di sini nggak akan ngajarin ajaran yang melenceng jauh seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...