Bab 2 - Madura

48 3 0
                                    

Gerbang hitam yang jelas terpampang membuat kendaraan yang ditumpangi mereka berhenti. Setelah perjalanan yang cukup jauh, akhirnya keluarga itu sampai pada tujuannya.

"Ayo turun hati-hati," kata yang paling tua.

Umar menuntun setiap anak dan isterinya turun dengan perlahan dari bus yang telah mereka tumpangi. Meskipun sempat menjadi pusat perhatian di dalam kendaraan umum ini, Umar tidak peduli.

"Uwih, nyampek juga! Akhirnya nggak nyium bau ilernya Amar!" seru Halwa dengan kepala yang diangkat. Kedua tangan kecilnya direntangkan lebar-lebar. Hidungnya menghirup oksigen yang sangat menyejukkan.

"Untung aja Amar masih tidur. Kalo nggak mungkin udah mulai debat dunia ketiga," ucap Fidza. Kedua kakinya melangkah mendahului para adik-adiknya. Mata bulatnya diedarkan menatap pemandangan sekitar.

Pohon-pohon tumbuh dengan lebat dan berjejeran di sebelah jalanan. Lalu lintas kendaraan yang tidak begitu banyak. Serta lalu lalang orang-orang yang saling menunduk dengan penuh kehati-hatian.

Fidza tertegun melihat ini. "Buk, Madura bener-bener beda sama Jakarta," cetusnya.

Asyiah tersenyum. "Ya jelas beda lah, Mbak. Madura itu pedesaan, sangat asri dengan alam. Sedangkan Jakarta itu kota, terkenal ramai dengan kesibukan dan populasinya."

"Adem yaa, kalo di sini," celetuk yang berumur 14 tahun. "Ah, Marwa jadi pengen mondok juga kalo suasana pondoknya ngademin kayak gini," lanjut gadis dengan hijab segi empat berwarna maroon itu.

"Bapak, di sana ada sapi!" seru Halwa menunjuk seekor sapi yang sedang memakan rumput. Berletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Kayak nggak biasa lihat sapi aja." Nahh, kalo nada judes ini berasal dari Salwa. Dengan jilbab berwarna hitamnya, serta wajah jutek andalannya, Salwa berjalan sendirian mendekati gerbang.

Fidza dan kedua orang tuanya terkekeh. Sedangkan Halwa menyumpah serapahi mati-matian adik juteknya itu. Amar masih ada digendongan sang ibu. "Ayo, kita masuk ke pondoknya Mbak. Nggak enak terus di sini diliatin orang-orang yang lewat." Asyiah berucap.

Keluarga itu berjalan beriringan memasuki gerbang pondok pesantren. Beberapa bangunan sederhana yang bertingkat dua mejadi pemandangan satu-satunya yang Fidza lihat. Lalu lalang para santri putri dengan setelan sarung dan kemeja berwarna putihnya dipadukan dengan hijab segi empat yang memiliki warna sama membuat Fidza lagi-lagi tertegun melihatnya.

"MaasyaAllahh, adem banget kalo di sini liat cewek-cewek pada nutup aurat. Coba aja kalo di Jakarta, behh. Cewek-cewek udah kayak nggak pakek baju aja."

Umar terkekeh. "Beruntung anak bapak nggak ikut-ikutan kayak mereka, ngumbar aurat kayak nggak akan dipertanggung jawabkan di akhirat," timpal Umar.

Fidza terkekeh. Keluarga itu menuju ndalem pengasuh pondok pesantren yang akan Fidza tempati. Juga untuk mendaftarkan Fidza agar diterima nyantri di sini.

***

Merelakan anak gadis sulungnya untuk menimba ilmu memanglah sangat berat. Jarak antara Jakarta dan Madura bukan hanya sebatas pinggir jalan. Umar dan Asyiah harus merelakan anak sulungnya untuk tinggal jauh dari mereka. Setelah 19 tahun hidup seatap bersama, namun kali ini berbeda.

Di sinilah, perjalanan Fidza akan dimualai. Umar menyentuh kedua pundak anaknya. Ditatapnya dua mata bulat itu. "Nak, kata imam Syafi'i, 'Merantaulah, orang yang berakal dan beradap tidak akan berdiam diri dikampungnya. Merantaulah, kelak kau akan mendapat pengganti dari teman-temanmu yang hilang. Berlelah-lelahlah, karna manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang'."

Fidza mendengarkan dengan serius.

"Nak, dari sinilah perjalanan mencari jati dirimu dimulai," lanjut Umar.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang