Bab 15 - Termotivasi

22 1 0
                                    

Selepas sholat subuh, Fidza dan teman-teman sekamarnya pergi menuju dapur. Mereka sama-sama membuat nasi, karena hari ini giliran kelompok Fidza yang bertugas membuat nasi. Sejak setengah jam yang lalu, apa yang akan menjadi sarapan untuk para santri sudah disiapakan.

Sebuah wadah besar diletakkan ditengah-tengah. Nasi yang telah dimasak tadi berada di atas wadah itu, beserta lauk yang mengelilingi nasi tersebut. Bukan lauk yang mewah. Mentoknya hanya tempe dan tahu beserta dengan telur dadar saja. Jangan lupakan sambal khas Madura yang tentu saja bukan Fidza yang membuatnya.

Setelah disiapkan, para santri yang sudah dibagi menjadi dua kelompok dalam sate kamar mulai pergi ke tempatnya masing-masing. Saling mengelilingi wadah besar yang berisi sarapan mereka. Kemudian setelah ketua kamar menyuruh memakannya, maka santri-santri itu akan segera mengambil nasi dan menyuapinya dengan tangan kanan.

Fidza sudah terbiasa dengan sarapan yang satu ini. Setiap kali makan, pasti akan dihabiskan dengan ramai-ramai. Bukan satu piring perorang. Hal ini akan menumbuhkan rasa kedekatan antara santri yang satu dengan santri yang lainnya.

Bercanda saat makan itu tidak diperbolehkan. Makanya para santri sangat anteng memakan sarapannya tanpa ada yang bersuara ataupun melempar candaan. Barulah setelah memakan makannannya, salah satu di antara mereka melemparkan candaan yang ditanggapi dan digelak tawai oleh semuanya.

Fidza sudah mulai beradaptasi ada di Pondok Pesantren ini. kesederhanaan yang terjalin antara hubungan para santri dengan perlakuannya, membuat Fidza sangat betah di sini.

Karena kebanyakan novel-novel tentang Pesantren yang telah ia temui, tidak ada cerita Pesantren yang menceritakan kehidupan snatri yang sesederhana ini. Bertemu dengan Kiyai dan Nyai merupakan satu hal yang akan sangat disenangi.

Cerita cinta di Pondok Pesantren juga sudah Fidza temui. Banyak hal telah ia lalui selama 2 Minggu ini. Namun meski begitu, rasa rindunya terhadap rumah dan orang-orangnya tak dapat terbendungi.

"Kamu ada kelas, ya?" tanya Fidza.

Vivi menganggukkan kepala. "Iya, males banget aku kalo harus ngaji pagi," keluhnya.

Fidza terkekeh. "Semangat-semangat! Mbak Vivi pasti bisa kok, ngadepin Ustadzah Dalwa sepagi ini!" seru Fidza diakhiri kekehan dan ejekan.

Vivi merotasikan kedua bola matanya malas. "Kamu mah enak, Fidz. Kalo tahfidz disuruh fokus ke tahfidz, nggak ikut ngaji atau pun sekolah pagi sampe siang," ujar Vivi, sedikit iri.

Fidza menepuk dada kirinya bangga. "Iya lah enak banget. Orang nggak setoran selama 2 Minggu gini dibilang enak. Aku loh disuruh nyapui lapangan satu Minggu sama Ustadzah Dalwa," tuturnya sembari tersenyum manis.

Vivi menggaruk bagian pelipisnya yang tidak gatal. "Gara-gara kamu nggak setoran? Makanya kalo udah hafal itu tuh langsung disetor, Fidz. Salah satu resep hafalan aku ya kayak gitu, Kalo hafal langsung setor. Jangan nunggu banyak dulu baru disetor, karena kalo lupa kan pas nggak bisa disetor dan harus ngafal ulang. Buktinya kamu itu ngerasain kan, sekarang."

Celotehan panjang itu ditanggapi dengan garukan pada ceruk lehernya yang tak gatal beserta dengan cengiran lolosnya. "Tapi aku dihukum bukan karena itu, eh karena itu, sih. rapi ya juga karena kejadian di lapangan sama di ruang keamanan itu juga," tutur Fidza.

Vivi menganggukkan kepala dengan mulut yang membentuk huruf 'o'. "Owalahh, kalo Shani dihukum apaan, Fidz?" tanyanya kemudian.

"Kalo nggak salah bersihin toilet putri selama satu Minggu, terus ngafalin hadist sama artinya. Setorannya ke Gus Ramzi," beritahu Fidza.

"Loh? Gus Ramzi yang minta gitu? Apa Ustadzah Dalwa yang nyuruh?" tanya Vivi. Kepalanya yang terbalut hijab segi empat dimiringkan.

"Gus Ramzi."

Vivi terdiam. Detik selanjutnya gadis itu keheranan. "Fidz, kenapa aku malah curiga kalo Gus Ramzi suka sama Shani, ya?" tanyanya sembari menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

"Kok Shani?" Fidza juga tidak mengerti.

Vivi menepuk mulutnya pelan. "Eh, sorry. Kamu cemburu ya? Aku nggak ada niatan buat bilang gitu kok, sumpah beneran," jelas Vivi dengan cepat. Takut Fidza salah sangka akan maksud dirinya.

Lantad mulut Fidza mengangah. "Ngapain cemburu elah? Emang aku bininya Gus Ramzi? Terserah beliau, lah, mau suka sama siapa. Aku mah nggak ada hak," jelasnya.

Vivi menatap Fidza kagum. "Seriusan, nih?"

anggukan berkali-kali dari kepala Fidza cukup mampu membuktikan kalau apa yang dikatakannya betul-betul sungguhan.

"Aku nggak mau lagi ketemu sama Gus Ramzi dan bahas soal beliau. Aku nggak mau lagi hafalan aku jadi mlarat nangkepnya gara-gara ada beliau gentayangan di dalem otak. Terserah beliau mau suka Shani suka kamu ataupun siapapun itu. Aku nggak berhak cemburu, aku nggak berhak marah karena aku bukan siapa-siapanya. Jadi yaaa, jangan bahas Gus Ramzi lagi, ya?" pinta Fidza diakhir kalimatnya.

Vivi bertepuk tangan bangga. "Keren begete coeg!"

***

Terik matahari yang menyinari tidak membuat gadis itu lelah untuk menyapaui. Meski keringat sudah setengah membanjiri, namun lapangan luas ini masih sisa setengah lagi. Ucapan semangat kembali diserukan untuk diri sendiri agar kembali semangat menjalankan hukuman ini.

"Gilaaaaa, panas banget coeg!"

Fidza benar-benar suka termotivasi. Yakinlah bahwa kata-kata akhirnya itu terinsipirasi dari Vivi. Gadis berusia 19 tahun itu mengelapi keringat yang membanjiri sebagian dahinya.

"Sampek mana hafalanku tadi ya?"

Sedari tadi, Fidza memanfaatkan kegiatannya yang menyapui lapangan ini sembari muraja'ah Al-Qur'an. Gadis itu akan sungguh-sungguh mulai sekarang. Tidak mau lagi terjebak dalan fananya pesona Gus muda yang sialan sangat tampan.

"Oiya, yang ayat 58."

Lantas Fidza mengulangi kembali hafalan yang sempat terhenti karena dirinya kelelahan. Memilih meresponnya dengan positive terkait hukuman yang sedang ia jalankan haru ini.

Fidza tidak kesal melakukannya. Ia spenuh hati ridho membersihkan lapangan dengan kedua tangan dan kedua kakinya sendirian di tengah teriknya siang.

Seorang laki-laki yang tengah menggendong bayi berada di ujung lapangan. Kedua bulu mata lentiknya menghalangi keringat yang hendak jatuh pada bola mata. Sepasang irisnya menatap figur laki-laki yang ada di ujung lapangan itu. Kerutan di dahinya tercipta.

Fidza memilih tidak memedulikannya. Lagi pula, ia tidak mengenali laki-laki itu. Memilih mengabaikan dan kembali muraja'ah disertai dengan kegiatan menyapui lapangan lebih menyenangkan daripada hanya sekadar memperhatikan sosok laki-laki yang tengah terdian menggendong bayi di ujung lapangan.

Sementara laki-laki itu sedari tadi menundukkan kepalanya smebari terus mendengarkan hafalan ayat yang Fidza lantunkan. Bayi yang ada di dalam gendongannya sudah tertidur sejak tadi. Namun laki-laki itu enggan untuk pergi dan menyia-nyiakan mendengar hafalan salah satu santriwati yang sangat terdengar merdu di dalam indra pendengarannya. Meskipun dirinya tidak megetahui siapa santriwati itu, mendengarnya melantunkan setiap ayat-ayat suci Al-Qur'an sudah mampu membuatnya kagum sendirian.

"MaasyaAllah."

Bersambung

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang