Bab 27 - Dua Kali Skakmat

14 2 0
                                    

"Kamu mau ke mana, Fidz?"

Pertanyaan Vivi membuat kepala Fidza ditolehkan. Vivi ada tak jauh darinya. "Ke ruangan Ustadzah Jannah," tuturnya.

Kerutan di dahi Fidza tercipta. "Ngapain? Kamu kok jadi sering ke Ustadzah Jannah? Kamu bestie-an sama beliau?"

Fidza menepuk jidatnya pelan. "Ngadi-ngadi kamu. Aku ke sana tuh buat pinjem hp, mau komunikasi sama bapak-ibuk," jelasnya.

Mulut Vivi berbentuk "o" dan kepalanya dianggukkan paham. Sedetik setelahnya, cengiran polos tercipta pada wajah cantiknya. "Owh, kirain," cetusnya. "Yaudah sana," usir Vivi.

Fidza menyipitkan mata. "Elleh, malah ngusir."

Gadis itu berbalik badan. Suara kekehan Vivi dapat ia dengar. Kedua kakinya melangkah mendekati ruangan yang ada di barisan tempat pengajar.

Hari ini panas. Jika Fidza membandingkan panasan mana Madura dengan Jakarta, maka jawabannya adalah Madura. Ya, benar. Rasa panas di Madura benar-benar nyata, dua kali lipat lebih panas dari Jakarta. Namun ketika malam, Madura sangatlah tenang.

"Assalamu'alaikum."

Gadis itu memasuki ruangan. Kedua kaki jenjangnya yang tertutup sarung digerakkan mendekati sebuah meja hitam yang terletak di sisi kanan.

"Wa'alaikumsalam." Wanita paryh baya yang sibuk menulis di atas kertas itu menghentikan aktifitasnya sejenak. "Mau pinjem HP?" tanyanya kala melihat Fidza.

"Iyaa, Ustadzah. Ini uangnya." Lembar kertas berwana kuning itu Fidza taruh di atas meja. Jangan kalian kira biaya menelpon itu digratiskan. Dari mana Ustadzah Jannah memberl pulsa jika tidak dibayar?

Ustadzah Jannah menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan Handphone yang biasnaya para santriwatinya gunakan untuk menghubungi keluarga dan sanak saudara.

Jari Fidza bergerak cepat di atas layar, sembari kedua kakinya mendekati kursi yang biasnya ia duduki. Benda pipih itu ditempelkan pada daun telinga. Tak lama setelahnya, sambungan teleponnya tersambung.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Suara bariton milik sang bapak terdengar. Bersanding dengan suara lembut yang mengalun indah milik sang ibu. Fidza menghela.

"Bu, Pak, Fidza kalah," tuturnya. Napasnya dihembuskan berat.

Di sebelah sana, sang ibu terdengar mengembuskan napasnya. "Yaudahlah Mbak, nggak papa," katanya.

"Tapi Fidza udah ngebuat Ning Nayla kecewa, beliau udah sungguh-sungguh ngajarin Fidza dari jauh-jauh hari. Tapi Fidza malah memberikan hasil yang berbeda," papar gadis berumur 19 tahun itu.

"Emang kalah itu juga kemauan Fidza? Nggak, kan." Sang bapak bersuara. "Fidza nggak dapet ngekontrol apa yang di luar kemampuan Fidza. Seenggaknya Fidza udah mau berusaha dan nampilin yang terbaik, itu udah lebih dari cukup, Nak."

Yang dikatakan sang bapak memang benar. Fidza meneguk ludah. Bibir bawahnya ia jilati. "Iyaaa, Pak."

"Kira-kira karena apa kamu kalah?" tanya sang ibu.

Suara lembut itu mengingatkan Fidza pada panggilan namannya kala di Jakarta. Saat Asyiah membangunkan Fidza untuk bangun tidur. Cara ibunya berbicara, Fidza selalu suka.

Gadis pemilik kulit putih itu kembali menghela. "Pas di atas panggung, Fidza tiba-tiba blank, Bu. Yang dihafalin seketika hilang. Fidza juga gugup banget."

Bibir bawahnya digigit. Ketika ingatannya terlempar pada saat dirinya menjadi pertontonan, Fidza tidak dapat mengijabarkan rasa kegugupannya secara gamblang.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang