Bab 4 - Pohon Mangga

33 3 0
                                    

Waktu terasa begitu cepat. Detik demi detik berlalu, menit hingga menit, jam demi jam, siang demi malam. Tidak akan ada yang tahu seberapa cepatnya waktu berputar. Meski dalam kesibukan ataupun sedang berleha-lehaan, waktu akan terus berjalan.

Yang dekat itu kematian. Semakin hari akan semakin dekat giliran kita untuk mati. Bukankah manusia itu tidak pernah sadar? Apa juga yang mau disombongkan sedangkan diri ini sebenarnya berasal dari mani?

Terus berbuat kemaksiatan adalah sikap manusia. Mereka yang sedang ada dalam kesesatan seolah-olah tidak akan pernah merasakan kematian. Seolah-olah tidak akan merasakan pertimbangan di alam yang kekal.

Kedua kaki itu masih terus melangkah. Sedangkan kedua matanya diedarkan menatap salah satu santri yang ia temui. Berharap yang ia cari segera dapat dijumpai.

"Kiw kiw, Mbak kota. Kamma'ah jiahh?"
(Mau kemana itu?)

Langkah kaki Fidza terhenti. Ia sudah biasa dijuluki sebagai "Mbak kota". Lagipula, julukan itu tidak merendahkan dirinya, jadi ya ... Fidza biasa-biasa saja.

"Assalamu'alaikum," kata Fidza.

Gadis yang menggoda Fidza tadi memukul mulutnya pelan. "Hehe, Wa'alaikumsalam," jawabnya.

Fidza geleng-geleng kepala. "Oiya, De. Kamu ngeliat Shani nggak? Dari tadi aku cariin Shani tapi nggak ketemu-ketemu," tanya Fidza mengungkapkan keluhannya.

"Yaelah, Fidz. Ngapain dicari Shani-nya. Untuk sekarang biarin aja dulu, kasihan dia udah lama nggak ketemu sama Ikrom," tutur Dea. Satu tangannya bergerak mengipasi wajahnya yang terasa gerah.

Perkataan Dea membuahkan kerutan bingung di dahi Fidza. "Shani di mana?" tanyanya, lagi. "Ketemuan sama siapa?"

Dea menatap Fidza sekilas. "Shani ada di bawah pohon Mangga, tuh. Di belakangnya masjid utama." Dea menunjuk arah yang ia maksud. "Dia lagi ketemuan sama pacarnya," sambungnya.

Pupil mata Fidza membesar. Lantas tanpa mengucapkan salam ia pergi menuju arah yang Dea tunjukkan. Kegundahan dihatinya tidak dapat Fidza kontrolkan. Apa yang diucapkan oleh Dea membuatnya terus kepikiran.

Apakah Shani seperti itu?

Fidza harap tidak.

Namun harapannya hanyalah sekadar harapan semata saat kedua netranya melihat seorang gadis berjilbab segi empat berwarna biru sedang duduk bersebalahan dengan laki-laki bersarung ungu. 

Fidza beristigfar di dalam hatinya. Lantas kedua matanya berkaca-kaca. Apa yang sedang sahabatnya lakukan?

Tidak mau diam penasaran dengan segala dugaan yang bercabang-cabang, Fidza memilih menghampiri dua manusia yang sedang duduk anteng di atas kursi panjang.

"Assalamu'alaikum," salam Fidza.

Atensi kedua manusia yang sedang duduk bersebelahan itu teralihkan. Yang berjilbab lebih dulu menoleh, senyumannya lantas terukir seketika.

"Wa'alaikumsalam, Fidza!" serunya.

Fidza menundukkan kepala, karena di depannya terdapat seseorang yang bukan mahramnya. Tanpa memedulikan seruan Shani, Fidza mengambil tangan sahabatnya dan menariknya untuk berada di sisinya.

"Kamu lagi apa, Shan?" tanya yang lebih tua.

Shani terkejut dengan Fidza yang tiba-tiba menariknya. "Fidz, kenalin. Dia itu Ikrom. Santri di pondok sini juga."

Shani bersuara mengenalkan laki-laki yang ada di depannya. "Dia pacar aku," lanjutnya dengan senyuman cerah serta rona kemerahaan yang hadir di kedua pipi tembamnya. Dengan mata yang saling bertatap-tatapan bersama laki-laki bukan mahram di depannya.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang