"Uwaw, keren banget ya kalian bertiga. Ehm, tapi pertemanan kalian ini tulus apa semata-mata demi ngejar juara?"
Fidza masih ada di sana, dikursi panjang yang terdapat di sebelah lapangan. Kakinya di ayun-ayunkan dengan kedua tangan yang memegangi raport hafalan.
"Nggaklah. Tentunya aku tulus temenan sama mereka bertiga, meski kadang radak anu, tapi ya kalo gak sama mereka gak akan asik," kata Vivi. Gadis itu membenarkan jilbabnya.
Fidza mengangguk mantap. "Bagus, deh, kalo gitu. Meskipun kalian bertiga sama-sama jadi rival, jangan sampe pertemanan kalian bercerai-berai hanya karena rebutan nilai," nasihat Fidza.
Vivi menganggukkan kepala. "Siap, deh, Mbak Fidz!" serunya.
Fidza terkekeh. "Ehh betewe, tutorin dong gimana bisa jadi juara satu berturut-turut gitu." Si gadis menampilkan cengiran lebarnya.
Vivi terkekeh lagi. "Nggak ada resep rahasianya, sih. Cuman yah intinya itu belajar, usaha, berdo'a, yakin, pasrah. Udah gitu doang," beritahunya.
"Owalahhh, tapi caranya biar punya kapasitas otak yang bisa menampungi segala hafalan dan unggul di setiap mata pelajaran itu gimana caranya? Jujur aja, aku ini merupakan tipe orang yang sedikit lambat kalo ngafal."
Fidza tidak berbohong. Sejak dahulu, ia memang sedikit lambat menghafal. Bukan tipe orang yang kalau hanya dengan satu kali membaca langsung bisa dihafal. Fidza tidak begitu. Menjad tahfidz Al-Qur'a memang keinginannya sedari dahulu, meski terkadang ia sangat lambat dalam menghafal, namun Fidza akan berusaha setiap waktu.
"Ehm, kalo ngehafal biar cepet itu, aku selalu pake logika. Jadi nggak cuman sekadar ngafalin apa yang mau diafalin. Tapi juga diinget dan tahu betul apa yang mau diafalin. Ngerti gak?" Vivi melempar pertanyaaan. Fidza mengangguk sebagai jawaban.
"Fal-afalan jiah akadik ngengseh todik. Sajen egengseh, todik ruah kan pas sajen tajem. Deyyeh kiah bik otakkah kita. Sajen kita fal-afalan, otakkah kita deddih sajen tajem ngafalen bik ngerteen pelajeren laen."
Fidza tercengang. Rahangnya terjatuh. Kedua matanya disipitkan. Pandangannya cengo menatap gadis yang ada di sebelahnya. Si gadis belum juga sadar dengan apa yang telah dilakukannya.
"Woi!"
Barulah si gadis itu menoleh. "Hah?" Mulutnya membentuk huruf "o".
"Aku orang Jakarta," beritahu Fidza.
Vivi belum mengerti. "Ya ... terus?" Kepalanya dimiringkan.
"Nggak bisa ngomong bahasa Madura," tutur Fidza sekali lagi.
Butuh waktu tiga detik untuk Vivi bisa menangkap maksud dari Fidza. Gadis itu tergelak, keningnya ditepuk secara pelan. Sementara Fidza merotasikan bola matanya disertai gelengan kepalanya.
"Aduhh lupaaa, maaf-maaf," ujar yang lebih muda dengan kekehan ringannya.
Fidza mengembuskan napas kecil. "Aku maafin kalo kamu jelasin ulang apa yang kamu bicarain tadi. Tapi, pake bahasa Indonesia. Inget, bahasa Indonesia!" tekan Fidza di akhir kata.
Vivi terkekeh. "Jadi maksudnya aku tuh gini. Ngehafal itu sama kayak ngebikin tajem sebuah pisau. Aku nggak tau apa nama bahasa Indonesianya, tapi bahasa Maduranya itu ngengseh," jelas Vivi
"Ngengseh?" Kepala Fidza dimiringkan.
"Yang biasanya dibuat untuk najemin pisau itulohh," Vivi mempraktekkan dengan gerakan tangan.
Dipraktekkan seperti itu justru membuat Fidza kian kebingungan. "Apa sih? Gak tau aku," cercahnya.
Vivi memandang horor teman dari Jakartanya ini. "Ck, pokoknya gitulah," pasrahnya. "Jadi gini, semakin di gengseh pisau itu, maka akan semakin tajam. Sama juga kayak otak kita, ketika otak kita terus ngehafal, maka otak kita bakalan jadi tajem buat ngehafal ataupun memahami sebuah pelajaran, nahhh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...