Kedua mata Fidza menatap lurus ke depan. Pemandangan di sini masih asri. Apakah perlu Fidza deskripsikan lagi? Di bawah rindangnya pohon beringin, di depannya tersaji sawah yang hijau membentang dengan luas. Anak-anak kecil bermain layang-layang di jalanan setapak. Para petani menjaga sawahnya dari burung nakal yang hinggap di atas padi.
Fidza menghela napasnya. Sudah 3 bulan dirinya berada di sini. Status sebagai santri kini mulai ia sukai. Fidza masih mengingat saat di mana bapak-ibunya mengantar Fidza ke Pondok Pesantren ini.
Kali terakhir Fidza menatap wajah kedua orangtuanya adalah di kala itu. Keempat adik-adiknya pun turut andil Fidza rindui. Gadis itu sendirian di sini. Matanya hampir berkaca-kaca kala mengingat dirinya celingak-celinguk berada di pondok pesantren ini.
Fidza itu, merupakan tipe orang yang sangat perasa.
"Fidz, kamu ngapain?"
Fidza menolehkan kepalanya, sepasang manik cokelatnya bisa melihat Vivi yang menghampirinya dan mendudukkan diri di sebelahnya.
"Mau hafalan, tapi istirahat dulu," balas Fidza. Mushaf Al-Qur'an yang ada pada genggamannya ditutup. Jemari lentiknya merapikan anak rambutnya yang terasa mencuat ke luar.
Vivi menganggukkan kepalanya mengerti. "Kamu suka banget ya, liat sawah?" tanyanya.
Umtuk pertanyaan yang satu itu berhasil membuat Fidza menolehkan kepalanya. "Hehe, di Jakarta mana ada pemandangan sebagus ini, Vi. Palingan juga jalanan, pabrik, sama gedung-gedung tinggi. Banyak polusi lagi," cerita Fidza.
Vivi terkekeh. "Ya tapi masak kamu nggak kangen Jakarta?"
Fidza meneguk ludah. "Kange sih iya. Jakarta itu spesial. karena ada bapak-ibuk sama adik-adik aku di sana. Juga ada kenangan indah di sana."
Vivi bertepuk tangan. "Wasekkkk, kenangan indah ca'eh."
Yang lebih tua menggaruk kepalanya. Ia terkekeh. "Apaansih."
Lantas kekehan keduanya mereda. Fidza jadi orang pertama yang menghela napasnya dan memulai berbicara. "Nggak nyangka, Vi. Aku udah 3 bulan ada di sini. Padahal dulu kalo diinget-inget, awal aku masuk Pondok Pesantren inii, aku tuh diem-dieman anaknya."
Vivi langsung menolehkan kepala. "Bilang sekali lagi kalo kamu diem-dieman?" Nada bicaranya seakan tidak terima akan kalimat yang telah Fidza lontarkan.
Fidza sedikit terkekeh. Pelototan dari Vivi membutanya tidak kuasa menahan tawa. "Apaan sih, orang bener juga pas peetama masuk sini tuh, aku orangnya diem. Nggak kenal siaap-siapa kecuali Shani, nggak tau yang lainnya lagi bicara dan bahas apa, nggak tau harus ke mana, nggak tau jadwalnya apa, intinya aku posang, Vi."
Mata Vivi menyipit. "Kamu itu nggak dieman, ya. Kamu cuman nggak lagi kenal samaa seseorang aja. Pas udah kenal kamu itu nggak dieman orangnya, ya. Inget, kamu itu nggak dieman orangnya!" tegas Vivi.
Kedua mata Fidza dirotasikan dengan gelakan tawa yang mengudara. "Iya-iya! Nggak suka banget, sih, kalo aku ngomong aku dieman orangnya. Padahal aku emang bener—"
"Hei! Seorang Fidza dieman? Nggak akan mungkin coi," potong Vivi.
Fidza kembali tertawa. Kali ini tawanya pelan. Gadis itu menatap langit Madura yang luas. Beberapa awan putih beterbangan di atasnya dan berhamburan.
"Kamu tau, mungkin dulu aku nggak akan punya temen kalo nggak disamperin kamu."
Celetukan itu membuat Vivi menolehkan kepala.
"Mungkin kalo bukan kamu, pas aku sama Shani lagi berantem, aku bakalan jadi santri yang tolol kerjaannya celingak-celinguk sama nyengir doang," cetus Fidza sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...