Bab 17 - Ya, Semoga

18 2 0
                                    

"Cieee yang tadi tatap-tatapan sama Gus Ramzi."

Godaan itu dari Wisha. Fidza yang sedang bersiap-siap untuk setoran hafalan meliriknya dengan tajam. "Jangan dibahas elah, orang nggak sengaja tadi," katanya.

"Eh, dipikir-pikir Fidza itu cocok juga sama Gus Ramzi tau," Rysfa yang berbicara.

"Jangan mulai jangan mulai ...." Lirikan mata Fidza kian menajam.

Vivi jadi orang yang hanya tertawa di pojokan kamar asrama. "Berarti nanti Fidza bakalan jadi Ning, dong," timpalnya ikut menggoda.

"Uwihh, Ning Hafidzah Putri Asyiah, istrinya Gus Ramzi. Cocok juga tauu," sahut Wisha. Gadis itu girang sendiri.

"Kalian jangan ngawur, deh. Seleranya Gus Ramzi bukan cewek yang kayak aku, pasti seleranya yang shalehah. yang taat agama, yang bisa hafal 30 juz, yang kalo baca kitab lancar. Aduhh, terpental jauh kalo sama aku mah," ujar Fidza.

"Elleh, kamu kan bentar lagi juga jadi hafidzah 30 juz Al-Qur'an," cetus Rysfa, gadis itu meletakkan satu tangannya di atas bahu Wisha. "Bener nggak, Wish?" tanya si gadis bertopi hitam.

Wisha mengangguk. "Bener tuh, Mbak Fidz ...."

"Aamiin aamiin." Fidza hanya mengaminkan. "Udah, deh. Aku mau setoran dulu," ucapnya.

"Yang semangat setoran hafalannya, Fidz. Biar kalo udah tahfidz 30 juz, bisa kentara makin cocok sama Gus Ramzi."

Godaan itu berasal dari Vivi. Langkah Fidza yang hendak keluar kembali urung. Gadis itu menolehlan kepalanya. Tatapan horornya mampu membuat Vivi merapatkan bibir seketika.

"Just Kidding." Vivi mengangkat dua jadinya disertai kekehnnya.

***

Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an mememnuhi ruangan kelas ini. Santriwati bergiliran maju sesuai dengan nama yang dipanggilnya. Tiba giliran Fidza, gadis itu meneguk ludahnya kasar.

"Semangat, Mbak Fidz!"

Zeta membisikkan kata penyemangat sebelum Fidza maju ke depan. Menanggapinya dengan senyuman, Fidza pun berdiri dari kursinya. Ia hadapi Ustadzah Salisah ynag ada di bangku depan.

Rumornya, Ustadzah Salisah berbeda dengan Ustadzah Dalwa.

"Udah hafal?'

Fidza tertegun. Bahkan suaranya yang merdu sangat mengalun indah di relung telingnya. Kedua bola mata Fidza terpaku. Menatap sosok wanita paruh baya yang pahatan wajahnya termasuk kriteria sempurna.

"Hafidzah?"

Panggilan dari Ustadzah Salisah membuatnya tersadar.

"Kamu udah hafal, kan?" tanya beliau sekali lagi.

"I-iya Ustadzah, udah hafal kok." Dalam diam Fidza merutuki dirinya yang gugup berbicara.

"Yaudah ayo dibaca. Pelan-pelan aja, nggak usah gerogi. Ustadzah nggak doyan gigit manusia kok."

Setelah kalimat itu, Ustadzah Salisah terkekeh. Kekehannya menciptakan sebuah lesung pipit yang ada di bagian pipi kiri.

"MaasyaAllah, Ustadzah. Kalo saya cowok mungkin saya bakalan jadiin Ustadzah istri," cetus Fidza tanpa sadar.

Ustadzah Salisah sedikit terkejut dengan kalimat itu. Namun setelahnya, sang Ustdzah terkekeh ringan. "Yahh, kamu keduluan sama suami aku," tuturnya.

Kedua bahu Fidza diturunkan lemas. "Yahhh, yaudah deh, jadiin aku mantunya Ustadzah aja,"  cengir Fidza.

Ustadzah Salisah kembali terkekeh. "Tapi anaknya Ustadzah cewek semua," beritahunya.

Fidza kembali melemaskan bahunya. "Yahh, masak potek dua kali, sih, hati aku," katanya dengan nada sedih.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang