Bab 12 - Pertontonan

15 0 0
                                    

Suara adzan Ashar berkumandang. Para santri bersiap-siap mengenakan mukenahnya dengan benar serta merapikan shaf-nya dengan rapat. Kali ini, santriwati tidak sholat di masjid utama, melainkan di mushalla. Yang mengimaminya pun perempuan. Yang iqamah juga perempuan, namun tentu saja yang adzan bukan perempuan.

Selepas sholat Ashar, tidak ada kelas mengaji sore. Maka dari itu, sekarang seluruh santriwati tengah kerja bakti di lapangan asrama. Mencabuti rumput-rumput nakal yang sudah tumbuh dengan sehat, menyapui lorong-lorong dan belokan, membersihkan taman serta membereskan apa yang masih kelarkaran dan merusak pemandangan.

Fidza ada dibagian sebelah sini. Tugasnya itu menyapu rumput-rumput yang sudah santriwati lainnya cabuti. Fidza bukan bersama dengan Vivi, tapi yang kali ini bersama dengan Wisha dan Rysfa. Vivi hilang. Kata Wisha dan Rysfa, gadis pemilik tahi lalat tipis itu tengah berada di ndalem. Memenuhi panggilan Ning Nayla-nya.

Fidza tidak akan heran jika Vivi terus menerus dipanggil ke ndalem. Karena ia sudah melihatnya, sepertinya Ning Nayla sangat menyukai Vivi. Lagi pula siapa, sih, yang tidak menyukai Vivi? Gadis cantik yang pintar, juara satu turun temurun hingga tiga kali?

Jika Fidza laki-laki, mungkin akan segera dia ta'arufi gadis yeng bernama Vivi itu.

"Mbak, liat tuh di sana ada Shani."

Bisikan itu membuat Fidza menolehkan kepalanya. Menatap arah yang ditunjukkan oleh Wisha di sebelahnya. Usai menatap objek yang dituturkan, Fidza kembali menoleh menatap Wisha.

"Yaaaa, kenapa, Wish?" tanya Fidza.

Yang ditanya menggaruk bagian kepalanya yang tidak gatal. "Yaaa nggak papa, cuman info aja, sih ...," katanya.

Fidza terkekeh dengan kepala yang diangguk-anggukkan.

"Siapa tahu mau berantem lagi, hayuk atuh aku tontonin."

Sahutan itu bukan berasal dari Wisha, tentu saja gadis yang lebih muda dari mereka tidak akan berani menyeletuk seperti itu. Pandangan Fidza jatuh pada Rysfa yang masih mengamati Shani. Tatapan gadis itu tersirat akan dengki.

"Suka banget yah liat orang berantem," cetus Fidza menggelengkan kepala.

Rysfa mengalihkan atensinya pada Fidza. "Hehehehe, nggak suka. Cuman ya seru aja," tuturnya.

"Sama aja itu Mbak," timpal Wisha. Kedua bola matanya dirotasikan.

Langit sore tidak menunjukkan mendung. Tebaran pesonanya masih membuat pasang mata yang melihatnya betah memandang. Mega-mega putih bertebaran. Sinar matahari yang tenggelam menerangi sebagian lapangan.

Santriwati di sini masih belum berhenti dengan aktifitasnya. Masih banyak rumput yang harus dicabuti. Sampah yang harus dibuangi. Tempat-tempat kotor yang perlu disapui. Sekitaran 2 Minggu sekali santriwati di sini ditugaskan seperti itu oleh Ibu Nyai. Tentu saja Pesantren ini tidak memiliiki petugas yang bisa menjaga kebersihan pondok selama 24 jam.

Petugasnya, sih, ada. Cuman nggak dikasih bayaran. Siapa lagi kalo bukan santriwati dan santriwan?

"Kalo ada Vivi mungkin kalian berdua dikasih motivasi," celetuk Fidza. Kepalanya masih digelengkan. Entah berapa kali kepala itu digelengkan sejak siang tadi.

"Ck, Vivi mah emang gitu orangnya. Dikit-dikit motivasi, dikit-dikit siraman kalbu, dikit-dikit nggak dibolehin. Heran, deh. Itu anak kok bisa ya taat banget jadi orang. Kan aku iri ngeliatnya."

Fidza mengembuskan napas lega. Sedari awal Rysfa berbicara, ia mewanti-wnati akhirnya akan menjelekkan Vivi. Ternyata dugaannya salah. Maka dari itu, Fidza tergelak sekarang.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang