Bab 36 - Siapa, Sih?

14 2 0
                                    

Kedua kaki Fidza ditapakkan di atas aspal jalanan. Berjalan, jarak pondoknya berada sekitar 100 langkah di depan. Napas Fidza dihembuskan. Sepasang iris kecokelatannya diedarkan menatap sekitar. 2 Minggu tidak melihat pemandangan sawah membentang seperti ini, Fidza merasa sangat rindu.

Pobon-pohon yang tumbuh segar dan berjejeran. Lalu lintas orang-orangan, serta anak kecil yang berlarian dipinggir jalan. Madura tidak akan se-sesak Jakarta. Madura sunyi, tanpa ada bising suara rel kereta api. Madura tenang, tanpa bising lalu lintas kemacetan. Madura selalu punya caranya sendiri untuk membuat Fidza terpana akan hal-hal alami yang dimiliki.

Gerbang itu berwarna hitam. Di atasnya terpampang dengan jelas dan besar. Huruf yang berukirkan arab. "Ahlan Wa Sahlan di PP. Al-Islamiyah".

Belum genap 1 tahun Fidza menimba ilmu di sini, namun rasanya pesantren ini adalah salah satu rumah yang ia miliki.  Terlalu banyak kenangan-kenangan indah dan moment yang telah dirinya lalui.

"Assalamu'alaikum, Pak." Fidza menatap seorang pria paruh baya yang duduk di pos satpam.

"Eh, Wa'alaikumsalam." Pak Bejir segera menghampiri gerbang dan membuka gembok yang menguncinya.

"Mbak kota udah dateng, ya," cetus pria paruh baya itu.

Aneh rasanya jika dirinya dipanggil dengan sebutan mbak kota oleh orang-orang yang hidup di desa. Terkekeh, Fidza menampilkan jejeran giginya. "Iyaaa, Pak. Kangen aku nggak?" Itu hanyalah candaan semata.

"Wuihh, ya jelas dong," timpal pak Bejir.

Fidza kembali terkekeh. "Yaudah, Pak. Saya ke asrama dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Barulah kedua kaki Fidza kembali dilangkahkan. Kedua matanya masih diedarkan. Bangunan berlantai dua yang salah satu kelasnya menjadi tempatnya untuk setoran. Masjid utama yang waktu itu sempat membuat dirinya terkena hukuman. Kemudian asrama yang menjadi tempatnya mengistirahatkan badan.

"AAAAA FIDZAAAA!!!"

Seruan itu membuat Fidza mengalihkan atensinya. Gadis itu terkekeh kala melihat Wisha yang berseru menyuarakan namanya. Melangkah semakin dekat, Fidza bisa melihat Vivi dan Rysfa yang memandangnya dengan pandangan penuh arti.

"Assalamu'alaikum?" Kresek bawaan ibu ia taruh di bawah.

Vivi melegkungkan bibirnya ke bawah. "Wa'alaikumsalam." Gadis itu menghampiri Fidza dan memeluknya dengan seerat-eratnya. Disusul juga oleh Rysfa dan Wisha.

Pelukan dari ketiga temannya membuat Fidza kesusahan mengambil napas. "Aduhh, jangan kenceng-kenceng woi!" cetus Fudza. Suaranya tercekik.

Pelukan mereka terlepas. Vivi jadi satu-satunya orang yang masih memegang kedua tangan Fidza. Pandangan gadis bertahi lalat itu penuh sendu.

"Fidz, turut berduka cita atas kematian bapak kamu, ya," ujarnya.

Mengembuskan napasnya. Fidza menganggukkan kepala.

"Kalo kamu masih mau nangis, masih mau curhat, masih mau ngeluh, nggak papa curahin semuanya di sini aja. Kita bakalan dengerin, kok." Giliran Rysfa yang berbicara.

"He'em he'em, beneran ituh," timpal Wisha. Kepalanya dianggukkan beberapa kali.

Fidza terkekeh. "Nggak ada, kok. Air mata sama sedih-sedihnya udah habis di Jakarta," lontar Fidza.

Vivi menghela. "Yaudah, deh, nggak papa. Cuman mau bilang aja, nggak selamanya kehilangan orang tersayang itu harus ngebuat kita ngerasa takdir Allah itu nggak adil. Justru dengan dihikangkannya orang-orang tersayang kita, berarti Allah sayang sama kita. Aku tahu, bapak kamu mungkin salah seorang parenting yang sangat berharga di hidup kamu. Tapi lebih dari pada itu, mengikhlaskan bapak kamu pergi juga salah satu cara agar kamu nggak terus stuck sedih di sini."

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang