Mushalla santriwati akan terasa sejuk jika di siang-siang hari begini. Fidza masih duduk sendiri. Tidak, di mushalla ini juga ada santriwati lainnya. Mushaf Al-Qur'an yang ada di genggamannya Fidza buka.
Dengan kedua matanya yang terpejam. Bibir tipis berwarna pink milik Fidza terus melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kefokusan gadis itu tidak bisa diganggu gugat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumslam."
Seluruh santriwati yang ada di mushalla menjawab salam, kecuali Fidza seorang. Gadis itu setia dipojokan, melafalkan ayat-ayat suci itu sendirian. Pandangan mata Vivi diedarkan, dirinya bisa menangkap gadis berhijab segi empat berwarna hijau yang ada di pojokan. Lantas Vivi menghampiri keberadaan Fidza.
"Cuy, Fidza," bisik Vivi di sebelahnya.
Kedua mata Fidza terbuka pejamannya. Gadis itu memberhentikan hafalannya, menciumi mushaf Al-Qur'annya dan menutupnya serta meletakannya di genggaman tangan.
"Apa?" tanya gadis itu.
"Kam—"
"Yellow yellow, hallow!"
Ucapan Vivi terpotong oleh suara Wisha yang mendekat kemari. Bersama dengan Ryfa yang ada di sebelah kiri. Fidza menatap kedua temannya itu.
"Lagi pada ngapain, nih?" tanya Rysfa.
"Aku mah hafalan," balas Fidza. Mushaf Al-Qur'an yang ada di tanganya diangkat di udara.
"Aku mah cuman mau menyampaikan amanah," sahut Vivi. Gadis itu menatap Wisha dan Rysfa. "Kalian ngapain di sini?"
Wisha terkekeh. "Aku mah ikut-ikutan Mbak Rysfa," cetusnya.
Kedua mata Rysfa dirotasikan. "Aku mah cuman mau menyampaikan kabar, kalian tau nggak sih. Masa tadi aku liat Sha—"
"Woi!"
Cerita Rysfa dipotong oleh Vivi. Gadis bertahi lalat itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Kata Sahabat Utsman bin Affan, di antara pendosa, yang paling buruk adalah ia yang meluangkan waktu untuk membahas kesalahan orang lain."
Fidza bertepuk tangan di sebelahnya. "Uwihh, ini baru bener," katanya.
Rysfa merotasikan bola matanya. "Perasaan aku nggak mau bahas kesalahan orang lain, deh," cetusnya.
"Terus apa?"
"Makanya kalo orang bicara tuh jangan dipotong. Tadi aku denger Shani nangis di kamar mandi sendirian," beritahunya.
Kening Fidza dikernyitkan. "Salah denger kali," ujarnya.
"Ih nggaaaak, aku tuh udah ngeliat Shani masuk kamar mandi, terus lama-lama aku denger suara tangisannya," tutur Rysfa. Gadis itu mengangkat kedua jarinya. "Seriusan deh," katanya.
Fidza terdiam. "Kenapa Shani nangis?" bingungnya.
"Eh, Astaghfirulloh! Fidza kamu dipanggil Ustadzah Jannah!"
Seruan dari Vivi membuat kepala Fidza ditolehkan. Gadis dengan kulit putuh itu mengaruk pipi kanannya yang tembam. "Ada apa emangnya?"
"Ya nggak tau lah, makanya kamu temuin sekarang Ustadzah Jannah-nya. Biar bisa tau kenapa dipanggil, gitu," lontar Vivi.
Fidza menipiskan bibir. "Okey, deh." Gadis itu berdiri dan melangkahkan kakinya keluar mushalla, hendak menuju ruangan Ustadzah Jannah.
Pandangan mata Fidza di edarkan, gadis itu menatap suasana pondok yang sangat asri ketika menjelang Maghrib. Di kanan-kiri, terdapat sekumpulan santriwati yang asik bercerita dan bercanda ria dengan teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...