Hari demi hari Fidza telah lalui dengan belajar secara sungguh bagaimana berfidato, bagaimana nadanya, bagaimana cara menyampaikannya, serta bagaimana gaya ketika menyampaikannya.
Fidza tidak menyangka, ternyata, Ning Nayla juga berbakat berfidato. Wanita paruh baya itu sangat pandai dalam mengarang kata-kata dan merangkai sebuah kalimat.
Ini sudah hari H. Fidza akan pergi berlomba, para peserta lainnya juga ikut bersiap-siap. Vivi tidak jadi mengikuti lomba. Hanyalah Fidza dan Rysfa juga santriwati lainnya yang tidak terlalu dekat dengan mereka berdua yang mengikuti lomba.
"Semangat ya kalian!"
Seruan itu berasal dari Wisha.
"Fidz, Rys, jangan lupa berdo'a sebelum memulai!" nasihat dari Vivi dikencangkan.
Rysfa dan Fidza mengangguk paham. Lantas keduanya melambaikan tangan dan segera pergi menuju ndalem Nyai dan Ibu Nyai. Tempat berkumpulnya para peserta lomba sebelum diberangkatkan ke lokasi.
Ternyata para peserta lain sudah ada di sini. Fidza tidak dapat menahan debaran di jantungnya meskipun sekarang belum sampai di lokasi. Tangannya panas dingin, perasannya tidak karuan.
"Nah itu udah dateng. Ayo kumpul dulu," suruh Ustadzah Salisah.
Fidza, Rysfa dan 3 peserta lainnya berkumpul terlebih dahulu di ndalem Kiyai dan Nyai. Mereka sama-sama duduk di atas karpet berbulu yang juga diduduki oleh para Ustadzah lainnya.
"Kalian yang sudah terpilih mengikuti lomba ini, semoga bisa betul-betul mengikutinya, niat karena Allah ta'ala. Kalah itu biasa, namun saya do'akan semoga kalian bisa membawa nama baik Pondok Pesantren kita," kata sang Ibu Nyai.
"Aamiin aamiin," sahut para Ustadzah beserta dengan peserta lainnya.
"Sebelum kalian berangkat untuk berlomba, marilah kita berdo'a terlebih dahulu. Semoga diparingi kelancaran, tampil dengan performa yang bagus. Ila hadrotinnabiyyil mustafa muhammadin shallallahualaihi wassalam, wa ila manawa salafunassalihin, al-fatihah ...."
Ndalem seketika sepi, kelima peserta itu beserta dengan para Ustadzah-nya sama-sama menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang ditakupkan. Mereka sama-sama khusuk membaca surotil fatihah.
"Aamiin."
Ustadzah Salisah lebih dulu berdiri dan menyalami punggung tangan ibu Nyai, diikuti oleh Ustadzah lainnya serta kelima peserta yang akan mengikuti lomba. Barulah setelahnya mereka bersiap-siap memasuki mobil yang akan ditumpanginya guna mengantarkan ke tujuannya.
Fidza menatap mobil putih yang ada di depan. Gadis itu mengenali dengan persis siapa yang menjadi supir dalam mobil itu. Pria yang menghantui pikirannya kala itu.
"Woi, bengong aja. Buru ih," desak Rysfa karena Fidza tak kunjung memasuki mobil mereka.
Fidza menggelengkan kepala. Atensinya buyar seketika. "Iya-iyaaa," jawabnya.
Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki mobil. Berada di sofa belakang bukan masalah bagi Fidza. Gadis itu duduk bersebelahan dengan Rysfa serta satu peserta lainnya. Sementara di bagian depan terdapat kedua peserta lainnya beserta dengan Ustadzah Jannah dan Ustadzah Salisah. Ning Nayla berada di sebelah Gus Ramzi.
"Rys, kira-kira yang santri cowok ikut lombanya gak ya?" tanya Fidza.
"Ikut, Mbak. Cuman ya kita nggak berangkat bareng dan nggak latihan bareng," sahut gadis yang berada di sebelah kiri Fidza. Hanabi—namanya.
Suaranya yang sangat merdu membuatnya diikutkan lomba qiraat.
Fidza menganggukkan kepalanya. "Owalaaah ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...