Bab 19 - Mermaid

17 1 0
                                    

Sekumpulan santriwati yang masih memakai mukenanya itu bergiliran keluar mushalla yang ada di sebelah asrama, bukan masjid utama.

"Fidz, ayo belajar bahasa Madura lagi!"

Ajakan itu berasal dari Vivi. Gadis pemilik tahi lalat tipis itu menampakkan binaaran kesenangan dikedua bola matanya.  Fidza yang ada di sebelah Rysfa mengangkat sebelah alis.

"Dihh, tumben semangat gitu? Kenapa?"

Fidza menaruh curiga. Bukan bermaksud bagaimana, hanya saja Fidza merasa ada udang dibalik batu. Tentunya ada tujuan dibalik maksud yang tertentu.

Vivi memutar bola matanya malas. "Aelah, cuman pengin ngajarin doang. Soalnya aku mau jadi guru bahasa daerah di SD desa aku setelah aku lulus dari pondok ini," papar Vivi.

Wisha yang ada di sebelahnya menganggukkan kepalanya dengan mulut yang berbentuk 'o'.

"Aku kira Mbak Vivi mau ngajar Mbak Fidza bahasa Madura biar Mbak Fidza lebih cocok aja sama Gus Ramzi."

Penuturan Wisha mengundang banyak pasang mata menatap ke arahnya. Rysfa jadi orang pertama yang tertawa. Namun Fidza menjadi orang pertama yang menatap Wisha dengan horornya. Sedangkan Vivi menjadi orang kedua yang tertawa setalah Rysfa.

"Kenapa malah Gus Ramzi lagi, sih," kesal Fidza. Merotasikan kedua bola matanya.

"Yaelah, kan itu si Wisha cuman ngira-ngira, Fidz," sahut Rysfa.

Vivi mengembuskan napasnya. "Nggak ya, Wisha. Aku nggak ada niatan ngajarin Fidza bahasa Madura biar lebih cocok sama Gus Ramzi," jelas Vivi.

"Iya-iyaaaa, Wisha ngerti." Setelah itu, cengiran lebar tercipta pada wajah kecilnya yang imut.

"Emangnya kamu udah dapet gelar S,Pd? Kok mau ngajar di sekolahan SD?"

kali ini Rysfa yang bertanya.

Vivi menggaruk pipinya yang tak gatal. "Maksud aku tuh, aku cuman mau ngajar SEKALI di SD jadi guru bahasa, biar aku punya pengalaman."

Vivi menekankan kata "sekali".

Fidza menepuk dahinya pelan. "Kirain kamu beneran mau jadi guru. Aku juga awalnya sempet bingung, emangnya kamu udah dapet gelar S,Pd apa," lontar Fidza.

"Emang kalo ngajar itu harus pake gelar S,Pd, ya?" tanya Wisha. Gadis yang lebih muda itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Yaaa nggak, Wish. Nggak harus S,Pd. Bisa juga atau S,kom. tergantung sama jurusan yang kamu pilih dan tergantung
kamu mau terjun ke dunia apa," papar Fidza menjelaskan.

"Terjun? Serem dong berarti." Wisha bergidik ngeri.

Fidza, Vivi, dan Rysfa menepuk jidatnya pelan secara bersamaan.

"Polosnya ...."

Fidza geleng-geleng kepala.

"Adek gue itu."

Rysfa menggaruk-garuk bagian kepalanya yang tak gatal.

"Yang dibicarain kamu nggak salah, sih, Wish. Tapi ya nggak bener juga."

Vivi terkekeh setelahnya.

"Tapi ada, lho, guru yang nggak perlu gelar apalah, masih tetep bisa jadi guru," celetuk Rysfa secara tiba-tiba.

"Masa, sih? Kerja aja kadang harus S1, masak jadi guru nggak ada gelar apa-apanya bisa jadi guru?" Fidza kebingungan dengan apa yang Rysfa maksudkan.

"Yaaa, buktinya bisa, Fidz. Kamu liat aja Ustadz sama Ustadzah di Pondok Pesantren ini. Rata-rata nggak ada yang punya gelar di belakang namanya," cetus Rysfa.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang