Bab 11 - Pak Bejir

15 0 0
                                    

"Dunia udah asing banget sama agama."

Percakapan itu mengisi perjalanan mereka dari pasar. Tangan Vivi dan Fidza dipenuhi oleh kresek dan kantong belanjaan. Namun mereka berdua terap pulang berjalan. Lagipula Pondok Pesantren Al-Islamiyah terletak dekat dengan pasar.

Fidza masih membahas perkara soal ibu-ibu penjual kangkung. Meskipun sudah mengetahui jalan pulangnya, Fidza tetap bersebalahan dengan Vivi.

"Waah, speechles banget aku, Fidz. Pantesan aja kamu kayak khusuk banget disitu," lontar Vivi diakhiri kekehannya.

"Yeu, khusuk apaan. Sebebernya pas si ibuk nawarin anaknya ke aku, disitu sku udah kayak pengen cepet-cepet pulang. Eeh, malah diajakin debat soal pacaran. Yaudah, maju aku mah," jelas Fidza. Kedua matanya menatap aspal jalanan.

"Tapi untung banget, ya, aku nyuruh kamu yang beli. Kalo aku yang beli, mungkin gabakal berani bilang kayak kamu. Fidza, sih, keren ...," puji Vivi menatap sahabatnya dengan senyumannya.

Yang ditatap terkekeh. "Nggak papa lah, Vi. Justru yang kayak gitu gatel banget pengen aku ajarin. Semoga aja ibu yang tadi itu bisa cepet sadar, deh."

Meskipun telah dipermalukan di depan banyaknya orang dan di tengah pasar. Bukan berarti Fidza harus berhenti mendo'akan. Justru, yang seperti itu harus segera di do'akan agar cepat sadar dan terbuka pintu hatinya.

"Nggak nyangka banget, pacaran udah dianggep senormal itu."

Ucapan Fidza tenggelam di antara riuhnya jalanan raya yang terdapat di belakan pasar. Gerbang Pondok Pesantren beserta papan namanya sudah ada di depan mereka. Pohon bambu dan pohon semacamnya tumbuh berjejeran mengelilingi gerbang. Hal itu membuat kesan alami yang ada pada Pondokk Pesantren Al-Islamiyah ada. Fidza menyukai hal itu.

"Yaaah, mau gimana lagi, Fidz. Nggak di desa ataupun kota, masyarakatnya sama-sama udah melumrahkan pacaran. Kayaknya, kalo nggak pacaran dibilang nggak normal," sahut Vivi ikut bercerita. "Aku juga paling kesel banget kalo disapa sama orang terus ditanya udah punya pacar apa belum. Kalo aku jawab nggak, pasti sama orang yang nanya itu ditawarin pacaran sama anaknya, kako nggak ya tetangganya, saudaranya, sepupunya. Banyak, deh." Bibir bagian bawahnya dibasahi. "Tapi kalo aku bilang pacaran itu dosa, mereka langsung pada ngatai sok alim," lanjut Vivi kemudian.

Fidza menghela napasnya. Memang bukanlah mereka yang patut disalahakan. Pergaulan yang sudah semakin ke depan dan larangan Allah sudah semakin dientengkan. Benar sekali jika sekarang dijuluki akhir zaman.

"Aduuh, kalo nyadar sekarang itu udah akhir zaman, jadi takut nggak bisa bersuami. Takut kedahuluan qiamat," ungkap Fidza. Gadis itu menatap sawah yang terbentang luas di sebrang sana.

Bukan salah Madura jika memiliki banyak kesalahan. Bukan salah Madura jika memiliki banyak kekurangan. Sama dengan pulau-pulau di Indonesia yang lainnya. Jangan menatap Madura rendah apalagi sebelah mata. Karena di Madura justru adalah yang utama.

"Yaelah, Fidz. Jangan takut soal masa depan. Karena katanya, orang islam yang masih punya iman walaupun itu hanya sebesar biji zarrah, nggak bakal ngerasain qiamat. Katanya sih, hari qiamat itu cuman bakal dirasain sana orang sesad yang nggak bisa ditolongin," jelas Vivi menenangkan kegelisahan yang Fidza alami.

Yang lebih tua tersenyun. "Nggak salah aku pilih temen kayak kamu, Piz!" seru Fidza menatap teman di sebelahnya dengan pandangan kagum.

"Ellehh, yaudah ayo bantuin bangunin Pak Bejir. Lagi tidur tuh," suruh Vivi. Kepalanya menunjuk seorang laki-laki berpeci hitam dan bersarung asal, tertidur di dalam pos ronda dekat gerbang.

"Apa-apa? Namanya siapa tadi?" tanya Fidza sekali lagi. Mencoba memastikan kalau ia tidak salah dengar.

"Namanya Pak Bejir," tutur Vivi dengan nada pelan. "Kenapa? Adek kamu ada yang mirip namanya kayak gitu?" Pertanyaan Vivi membuat Fidza menatapnya horor.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang