Bab 21 - Kenapa Bisa?

17 1 0
                                    

Debaran di jantung Fidza masih tidak berhenti sejak beberapa menit lalu, Gus Ramzi datang dan menegur mereka berempat yang hendak bercerita.

Fidza masih berada di bawah pohon beringin itu. Vivi ada di kamar asrama, sedangkan Wisha dan Rysfa berada di kantin. Usai ditegur oleh Gus Ramzi, mereka berempat memutuskan untuk berpisah guna memfokuskan diri masing-masing.

"Allahumma ... kenapa ini hati nggak berenti deg-degan, sih ...."

Fidza tidak mengetahui arti dibalik ketegangannya yang kali ini. Ia tidak pandai menebak apa yang sedang dialaminya sekarang. Lintasan kejadian demi kejadian bersama dengan Gus Ramzi mulai memasuki otak Fidza.

Gadis itu terpaku. Pandangannya lurus ke depan. Namun di otaknya, Gus Ramzi berkeliaran. Ketampanannya tidak patut diragukan. Kedua bahunya yang tegap, memiliki poros tubuh yang sempurna.

Matanya indah. Kedua alisnya itu tebal. Bibirnya juga tebal, namun entah kenapa bibir tebalnya bisa berwarna merah semerah itu. Hidungnya mancung. Sorot matanya meneduhkan.

Ahh, rasanya Fidza bisa gila hanya dengan memikirkan Gus Ramzi seorang.

Kedua matanya ditutup. Kepalanya digeleng-gelengkan. Jangan sampai Fidza kembali terjebak dalam pesona Gus tampan. Otak Fidza ingin segera melupakan, namun hatinya menolak untuk itu.

"Maasyaallah, Gus-nya kenapa betah banget di otak aku, sih ...."

Fidza juga heran. Bagaimana cara mengusir sosok berperawakan yang ada di otaknya ini?

"Okee, Fidza ... sekarang kamu fokus hafalan! Mikirin yang bukan mahram itu nggak boleh, Fidz!"

Monologan itu membuat Fidza mengangguk-angguk paham. Lantas dirinya membuka kembali mushaf Al-Qur'an yang sempat ia tutup. Sepasang iris gelapnya menatap deretan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang ditulis rapi di atas lembaran berwarna putih.

"Bismillah ...."

Lantas gadis itu mulai menghafal. Kedua matanya fokus membaca rentetan ayat yang ada di depan. Kemudian Fidza mengula-ngulanginya sebanyak 10 kali.

Ini adalah metode Fidza mengahafal Ap-Qur'an yang diajari oleh Bapak. Metode ibu berbeda lagi. Hampir sama dengan metode milik Vivi. Kedua metodenya sama-sama dapat membantu Fidza cepat hafal, namun memilih metode bapak adalah jalan Fidza hafal cepat.

Kali ke sebelas, Fidza mencoba menutup mushaf Al-Qur'anya. Mencoba kembali melafalkan ayat yang telah ia ulang sebanyak 10 kali tadi tanpa menatap ayatnya.

Kedua bibirnya terkunci rapat. napasnya masih beraturan, detak jantungnya pun normal. Namun entah mengapa ayat-ayat suci Al-Qur'an yang telah dibacanya berulang-ulang malah tak mau keluar dari mulutnya. Nyatanya, bagian kecil otaknya masih terisi dengan Gus Ramzi.

"Astaghfirulloh ... Gus punya masalah apa, sih," kesal Fidza  bermonolog sendiri.

Kepalanya dipukul-pukul sebanyak tiga kali. "Fokus woeee!" perintahnya pada diri sendiri.

Terkadang niat kita sudah mantap untuk melakukan sesuatu, namun pikiran dan hati kita justru malah dilema untuk memulai hal yang baru.

Fidza mengembuskan napasnya jenuh. Kali ini dia kembali membuka mushaf Al-Qur'annya. Iya, Fidza tidak akan semudah itu untuk menyerah. Namun yang kali ini, metode menghafal Fidza akan mengikuti metode yang ibu ajarkan.

"Fidza, kalo mau ngafal tapi cepet itu, pikiran kamu harus fokus dulu. Terus kamu harus ngehafal pakek logika. Nggak cuman mulut aja yang berbicara, tapi otak kamu juga ikut kerja dan jalan. Apa yang kamu hafalkan juga harus setara dengan jalannya otak kamu, Fidz."

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang