Puluhan kepala yang dibungkus dengan jilbab segi empat sama-sama menunduk hormat dan khidmat, juga dengan rasa takut yang membuat beberapa di antara mereka gemetaran.
Fidza memejamkan mata. Sudah jelas endIingnya akan dihukum kembali oleh Ustadzah Dalwa. Dua kali sudah namanya tercetak di buku santri nakal. Jika sampai 3 kali terpampang dan bapak serta ibunya tahu, bisa mati Fidza karena rasa kecewa mereka berdua kepadanya.
"Saya tanya sekali lagi. Mengapa kalian malah menjadikan agenda bersih-bersih ini sebagai bahan pertontonan orang bertengkar?!"
Lapangan masih senyap. Tidak ada yang berani menjawab apalagi berbicara menyela sang Ustadzah. Meski dalam keadaan yang menunduk, namun mereka dapat meraskaan tatapan tajam Ustadzah Dalwa menusuk sampai ulu hati.
"Apakah kalian tahu, justru dengan kalian bertengkar seperti ini akan membuat tali silaturrahmi kalian terputus? Apa yang mau dipertengkarkan? Bukankan kedua orang tua kalian memondokkan kalian untuk mencari ilmu, bukan untuk menjadi orang hebat yang hanya bisa bertengkar di lapangan!"
Rysfa dan Wisha saling pandang. Lantas pandangan mereka dibuyarkan, kembali sama-sama menunduk dengan penuh khidmat. Sedangkan yang bernama Fidza sudah gemetaran tidak karuan.
Maaf pak, buk, Fidza nggak ada niatan buat jadi sok jagoan. Fidza cuman mau sahabat Fidza bisa berubah ke jalan yang benar. Batinnya dengan lirh.
Wanita berumur 30 tahun itu menatap seluruh santrinya yang diam dengan kepala yang ditundukkan. Berdecak, sang Ustadzah mengambil napasnya mencoba untuk bersabar.
"Yang masih memiliki tugas di lapangan, segera selesaikan sebelum waktu mandi dan sholat maghrib tiba!"
Meski dalam keadaan yang sedang tidak baik pun, dia harus mengeluarkan suara yang besar. Agar santri-santrinya mau menuruti perintahnya. Menjadi sosok yang ditakuti bukanlah masalah, yang terpenting dirinya bisa menepati janji pada seseorang yang berharga dihidupnya.
"Untuk kalian berdua!"
Kalimat itu ditujukan kepada Fidza dan Shani.
"Ikut saya ke ruang keamanan!"
Setelah perintah tegas itu, Ustadzah Dalwa berbalik badan dengan mengucapkan salam. Kemudian pergi berjalan menjauhi lapangan. Membuat para santriwati bisa bernapas dengan lega. Kemudian segera menuntaskan aktifitasnya takut dikenai hukuman.
"Gara-gara kamu."
Fidza kaget. Apakah ia tidak salah dengar?
"Dihh, ngatain. Orang dia juga yang salah."
Bukan Fidza yang menjawab, melainkan Rysfa. "Fidz! Yang semangat, ya. Kamu nggak salah, harusnya kamu nggak bakalan dapet hukuman," katanya. Sebagai ganti kata penenang.
Fidza merekahkan senyumnya. "Iyaaa makasih. Kalian selesain aja tugasnya, keburu nanti diliat Ustadzah Dalwa terus dihukum lagi," suruh Fidza.
Setelah mendapati anggukan dari keduanya, barulah Fidza bisa mengikuti Shani yang berjalan lebih dulu darinya. Sepasang iris itu menatap langit sore yang berwarna jingga. Burung-burung beterbangan dengan bebas. Hawa Madura menjadi satu-satunya hal yang ia suka. Hingga kegundahan mulai mengambil alih ketenangan.
Pak, buk, maafin Fidza.
***
Kembali lagi ke ruangan sempit ini yang hanya diterangi oleh lilin bukanlah sebuah kebanggaan yang patut dipamerkan. Itu hanya untuk santri-santri nakal tanpa rasa malu yang akan berani memamerkan kalau dia langganan keamanan. Padahal, kesalahan tidak seharusnya dibanggakan.
Kata Vivi, terdapat dua respons ketika mengalami masalah. Meresponnya dengan positive atau negative. Karena sudah dijelakan, Fidza lebih memilih respon positive. Bagaimanapun akhirnya, Fidza akan menerimanya. Lagi pula ini sudah konsekuensinya yang melakukan kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...