Kedua mata bulat itu diedarkan menatap sebuah bangunan yang tidak begitu lebar. Terdapat lemari pakaian di ujung ruangan. Serta rak-rak panjang yang berisi buku-buku bacaan ataupun kitab dan mushaf Al-Qur'an.
Barang-barang kebutuhan para santriwati berjejer rapi di atas lemari ataupun diatas lantai keramik. Fidza dan Shani masih berdiri di ambang pintu. Sebanyak 10 santriwati yang ada di dalam ruangan itu menatap Fidza dan Shani secara bergantian.
"Assalamu'alaikum."
Untuk salam yang satu itu, berhasil membuat Fidza tersadar dari lamunannya. Shani memasuki ruangan. Setelah balasan salam yang serentak dari seluruh santriwati yang ada di dalam ruangan, barulah Fidza mengikuti Shani memasuki kamar asrama.
"Mbak, kenalin ini sahabat aku, santri baru di sini. Dan kata pengurus disuruh jadi bagian dari kamar ini," jelas Shani.
"Owalahhh, santri baru toh. Sini-sini masuk," ucap salah seorang santriwati yang memiliki tahi lalat dibagian pipi sebelah kiri.
Fidza dan Shani ikut duduk bersama dengan 10 santriwati itu. Rasa canggung mendominasi hati Fidza. Mendadak dirinya susah berbicara. Fidza kehabisan kata-kata.
"Siapa namanya, Shan?"
Shani menyenggol Fidza. Yang disenggol menolehkan kepalanya dengan angkatan satu alisnya.
"Kenalin diri gih," suruh Shani.
Fidza mengangguk. Lantas dirinya kembali menatap seluruh santriwati yang menatap dirinya dengan lekat. Ditatap seperti itu tentu saja membuat Fidza gugup.
"Yeh jek jelling deyyeh lah, Mbak. Takok jiah." Salah satu santri bersuara. (Ya jangan lihat kayak gitu lah, Mbak. Takut dianya.)
"Dele ngetter tanangngah jeh," sahut yang di sebelahnya. (Jadi gemetar tangannya tuh.)
Dalam sekejap mata, kamar ini dipenuhi oleh gelak tawa. Fidza kebingungan. Apa yang mereka bicarkan dan apa yang mereka tertawakan?
"Jek agellek kanak, ajiah oreng kota. Lok kerah ngerteh dek bahasa dinnak," Shani berucap. Meski Fidza tidak mengerti bahasa bicaranya. (Jangan ketawa kalian, dia itu orang kota. Gak bakal ngerti bahasa sini.)
"Oiyeh ye, lali aku rek," timpal gadis dengan tahi lalat dipipi kiri tadi.
"Ayo Mbak, kenalan. Jangan takut-takut, santai aja kali," ucap yang berkacamata.
"Kita nggak gigit kok, Mbak. Palingan cuman ngekkek."
(Ngekkek= Gigit dalam bahasa Madura)Lagi dan lagi kamar ini dipenuhi gelakan tawa. Setelah kalimat yang dilontarkan oleh santriwati berkerudung oren tadi. Orang sama yang membuat gelakan tawa kembali mengudara di kamar ini.
"Fidz, kenalan gih," suruh Shani lagi.
Fidza menampilkan senyuman kakunya. Berada di sini seperti berada di dunia lain. Bahasa yang berbeda, tempat yang berbeda, serta tanggapan dan candaan yang berbeda. Berdo'a saja semoga Fidza bisa segera beradaptasi.
"Nama aku Hafidza Putri Asyiah, umur 19 tahun, askot Jakarta. Salam kenal semuanya."
Okey, Fidza cukup bangga karena tidak perlu dituntun untuk berkenalan di depan para teman barunya. Yahh, meskipun kebanggannya untuk hal-hal sepele.
Tanga Fidza tiba-tiba diangkat berjabatan tangan oleh gadis pemilik tahi lalat dipipi bagian kiri. "Kenalin, aku Jena Pizza Vivia. Lo cukup panggil aku Vivi, nice to meet you."
"Kalo nggak tau bahasa gaul gausah maksa lah, Vi. Apaan lo-gue dicampur sama aku-kamu, ellehh ...."
Celetukan panjang lebar itu berhasil membuat seisi kamar tergelak. Fidza jadi menduga kalau mbak yang satu iti merupakan pelawak kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...