Bab 28 - Batas Kesabaran

14 2 0
                                    

Suasana di kamar asrama itu berangsur-angsur menegangkan. Seluruh penghuninya berdiri di luar kamar secara berjejeran. Di dalam sana, Ustadzah Salisah beserta dengan Dea tengah mencari keberadaan uangnya. Dengan cara menggladi semua barang-barang milik santriwati yang ada di kamar asramanya.

"Menurut kamu siapa, Vi?"

Yang ditanya mengedikkan bahunya acuh. "Yo ndak tau kok tanya saya."

Fidza berdecak. "Yaelahh, kan kamu udah lama mondok di sini. Emanganya nggak ada kasus kehilangan apa?"

Vivi menggelengkan kepalanya. "Nggak. Ini itu baru pertama kali. Mungkin Shani nuduh kamu kayak gitu juga karena kejadian ini baru terjadi pas ada kamu," jelas Vivi.

Fidza menyipitkan matanya. "Terus emangnya kenapa kalo ada aku di sini. Bukan berarti aku pelakunya ya," selorohnya dengan wajah datar.

"Silakan kalian semua masuk!"

Perintah dari sang Ustadzah membuat ke-14 santriwati itu kembali memasuki kamarnya. Fidza dan Vivi masih bersebelahan. Wisha dan Rysfa, ia tidak mengetahui kedua bocah itu berada dibagian mana.

Pemandangan yang mereka lihat adalah sejumlah uang berwarna merah berada di dalam tas berwarna hitam. Di sebelah tas itu, menggantung sebuah topi yang juga berwarna hitam. Dari kedua barangnaya saja, sudah sangat jelas siapa pelakunya.

Fidza meneguk ludahnya. Kedua netranya mencari-cari keberadaan gadis yang selalu membuatnya tertawa. Otaknya menerka-nerka mengapa bisa sejumlah kertas berwarna merah itu ada di dalamnya.

"Yang memiliki kedua barang ini sikakan maju ke depan."

Senyap, ke-14 santriwati itu tidak ada yang mau maju. Namun detik setelahnya, gadis yang berdiri dipojokan melangkah ke depan. Kepalanya ditundukkan dalam.

"Beneran ini?"

Fidza dapat mendengar suara Vivi yang berguman tidak percaya di sebelahnya. Jangankan Vivi, Fidza juga sama tidak percayanya melihat Rysfa yang berdiri di depan Ustadzah Salisah.

"Jadi, kenapa kamu mengambil uang milik Dea?"

Dea yang ada di sebelah kanan Ustadzah Salisah menghapus air matanya. Masih beruntung uangnya sudah ditemukan, ia tidak perlu khawatir kekurangan uang jajan.

Rysfa meneguk ludah. Sial. Ternyata mainnya kurang rapi. "Saya melakukannya karena saya membutuhkan uang untuk membayar biaya Pondok dan madrasah. Kedua orangtua saya sudah lama tidak mengirimi saya dan kembaran saya di pondok. Alhasil, kembaran saya menyuruh saya untuk mengambil uang salah satu teman saya."

Fidza tertegun. Sungguh. "Vi, Rysfa punya kembaran?"

Di sebalahnya Vivi mengangguk. "Iyalah, namanya Rassya. Santri pondok sini juga," tuturnya.

Fakta yag satu itu baru Fidza ketahui. Kedua matanya kembali menatap Rysfa yang berdiri di sebelah Ustadzah Salisah. Sejujurnya Fidza juga tidak menyangka kalau Rysfa akan berbuat nekat seperti itu.

"Kamu melakukan cara yang salah. Niat kamu memang baik, tapi cara kamu itu salah. Nggak semua uang yang kamu butuhkan harus terkabulkan dengan cara mengambil punya orang."

Rysfa senantiasa menundukkan kepala. Tangannya yang gemetar memilin ujung jilbabnya. "Iyaa, Ustadzah. Maaf."

Ustadzah Salisah menghela napasnya. "Karena kamu udah ngelakuin kesalahan, saya laporkan kamu ke Ustadzah Dalwa. Dan biarkan beliau yang menindak lanjutinya," papar wanita paruh baya itu.

Kedua mata Rysfa membola. Di dalam hatinya ia merutuki dirinya. Seandainya ia tidak menuruti perintah sesad kembarannya, mungkin harga dirinya tidak akan jatuh seperti ini.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang