Bab 5 - Akhir Innalillah

28 3 0
                                    

Apa yang mau disombongkan jika yang tengah menunggu kita adalah kematian?

Kini, Fidza berada di bawah pohon bringin yang terletak di belakang bangunan asrama santri putri. Sendirian bersama dengan keheningan. Tanpa ada bising manusia yang menyuarakan kalau pacaran itu nggak haram.

"Harus berapa banyak ayat Al-Qur'an dan hadist biar bisa nyadarin manusia kalo pacaran itu haram?"

Fidza bermonolog sendiri.

Madura selalu menangkan. Berbeda dengan Jakarta. Sawah-sawah yang ditumbuhi padi terbentang luas di depan mata. Jalanan setapak serta lalu lintas anak kecil yang bermain layang-layangan meski terik matahari memancarkan silau kepanasan tidak membuat semangat mereka terhempas untuk menerbangkan layangan.

Fidza memperhatikan. Madura banyak membuatnya belajar. Bagaimana dirinya harus senantiasa berdo'a untuk keselamatan keluarga serta teman-teman dari panasnya siksa api neraka.

Menjadi seorang muslim pun harus senantiasa berdo'a agar bisa dimasukkan ke dalam surga. Nabi Muhammad, Rasululloh yang dijamin surga tempat kembalinya masih berdo'a untuk dijauhkan dari api neraka. Lantas bagaimana dengan dirinya yang hanya muslimah biasa memilih enggan berdo'a padahal tidak memiliki jaminan surga?

"Assalamu'alaikum."

Kepala Fidza tertoleh. "Wa'alaikumsalam." Gadis itu menatap Vivi yang berjalan menghampirinya.

"Boleh, kan, aku duduk di sebelah kamu?" tanya gadis pemilik tahi lalat kecil dipipi bagian kiri itu. Jilbabnya segi empat, bajunya kotak-kotak, bawahannya memakai sarung bermotif bunga-bunga. Ketiga setelah itu sama-sama berwarna senada.

"Boleh lah. masih nanya aja kamu ini," cetus Fidza.

3 hari berada di Pondok Pesantren Al-Islamiyah sudah dapat membuat Fudza beradaptasi dengan cepat. Meski terkadang tidak mengerti dengan candaan dan ejekan mereka yang berbeda bahasa, namun Fidza akan terus mencoba.

"Kamu kenapa sendirian di sini, Fidz?" tanya Vivi.

Fidza memejamkan matanya. Merasakan hembusan angin dari dedaunan pohon bringin yang ia naungi. "Madura beda banget, ya, sama Jakarta."

Jawaban itu bukanlah jawaban yang Vivi maksud. Namun gadis yang ada di sebelah Fidza tersenyum. "Yaaa gitu, deh. Tapi aku kadang sedih bangat kalo jadi rakyat Madura," ungkapnya.

Fidza menolehkan kepala. Keningnya dikernyitkan. "Kenapa sedih, Vi?"

Yang ditanya mengambil napas kemudian dihembuskan secara perlahan. "Karena bagi masyarakat yang nggak tinggal di Madura, mereka selalu memandang sebelah mata. Kalo aku lagi ada dikota dan aku ngenalin diri sebagai rakyat Madura, respons mereka langsung beda," jelas Vivi.

Fidza berkedip satu kali. "Kok bisa gitu?" Kepala yang terbalut hijab berwarna hitam itu dimiringkan.

"Nggak tau juga." Bahu tegap Vivi dikedikkan acuh tak acuh. "Kenapa banyak masyarakat diluaran sana seolah-olah nggak mau mengakui Madura sebagai salah satu dari bagian suku mereka juga? Madura selalu dipandang rendah. Apa karena Madura dianggap ketinggalan zaman?"

Kedua mata Vivi menerawang ke depan. Fidza masih mendengarkan. Mata cokelatnya mengamati Vivi yang bercerita di sebelahnya.

"Padahal ya, Madura juga nggak begitu ketinggalan zaman. Madura juga sangat ciri khas dengan adab dan tatakrama yang sangat kental." Jeda. "Meskipun ada beberapa orang di Madura yang perbuatannya bikin geleng-geleng kepala, tapi kan nggak semua rakyat madura kayak gitu juga," lanjutnya.

"Perbuatan geleng-geleng kepala gimana maksudnya?" tanya Fidza tak mengerti.

"Biasanya tuh, Fidz, anak-anak di Madura doyan banget joget-joget nggak jelas kalo denger musik yang DJ gitu ... kalo di sini istilahnya itu 'Jamet'," beritahu Vivi.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang