Bab 10 - Pasar

15 0 0
                                    

Kejadiannya hanya beberapa detik. Namun mengapa sampai terbayang-bayang hingga terbawa saat tiduran? Fidza akui, laki-laki semalam memanglah tampan. Ah, mengapa dirinya jadi memikirkan laki-laki yang bukan mahram?

"Fidz! Dari tadi bengong mulu. Udah hafal sampek mana emangnya?"

Teguran dari Vivi membuat lamunan Fidza buyar seketika. Yang ditegur menolehkan kepala. Mushaf Al-Qur'an yang ada di pangkuannya ia tutup.

"Alhamdulillah udah hafal sekitar 100 ayat," beritahu Fidza.

Lantas Vivi menganggukkan kepalanya mantap. Gadis itu ikut menutup kitab amtsilati dan kitab qaidahnya. Kembali memperhatikan Fidza yang diam dengan pandangan menerawang.

"Fidzaaaaa, kamu kenapa, sih?" tanya Vivi.

Lagi dan lagi, atensi Fidza kembali dibuat buyar oleh Vivi seorang. Si gadis menolehkan kepala. Mengucapkan istighfar tanpa henti dengan kedua mata yang dipejamkan. Vivi keheranan melihatnya.

"Hellow, Fidza! kamu kenapa, sih?" Pertanyaan untuk ketiga kalinya. Vivi merotasikan bola matanya.

Yang ditanya membuka pejaman matanya. "Cara biar gak kepikiran laki-laki yang bukan mahram itu gimana, sih?"

Sontak, pertanyaan Fidza membuat Vivi membulatkan mulutnya beserta dengan melebarkan kedua bola matanya. "Woahh, laki-laki mana yag kamu pikirin, Fidza?" Vivi takjub sekaligus penasaran.

Gadis berjilbab hitam itu menipiskan bibirnya. "Semalem, pas lagi ngepell masjid, kan aku ngepell di bagian santri putra, ya. Nah, itu tuh tiba-tiba ada laki-laki yang dateng. Suaranya nyaman banget. Terus juga kayaknya dia mau sholat tapi nggak jadi karena ngeliat masjidnya masih di pell," cerita Fidza.

"Wahhhhh, laki-laki kayak gimana tuh modelannya?" Vivi kembali bertanya.

"Ish, Piza! Aku kan tadi nanya gimana biar nggak terus kepikiran laki-laki yang bukan mahram itu, kenapa kamu malah nanya ciri-ciri laki-lakinya. Kan otomatis makin kepikiran akunya," kesal Fidza. Kening itu dikernyitkan dengan kedua mata yang disipitkan.

Vivi terkekeh dengan satu tangan yang menutupi mulutnya. "Maap maap, kan aku kepo. Siapa, sih, laki-laki yang bikin Mbak Fidza ini jadi terus kepikiran sampe pertanyaan aku tiga kali diabaikan," celoteh Vivi panjang lebar.

Yang lebih tua terkekeh. "Maaf maaf, aku tadi masih kepikiran," katanya.

"Ehmm, aku sih nggak tau pasti cara ngilangin pikiran laki-laki bukan mahram gitu. Tapii, coba deh kamu terus inget Allah. Terus istighfar, dan jangan biarin laki-laki bukan mahram itu masuk lewat celah-celah ingatan kamu," papar Vivi memberi jalan keluar.

Yang berjilbab hitam kembali menganggukkan kepalanya paham. "Owhh, okedehh makasih, ya."

"Assalamu'alaikum. Mbak Vivi ekatoen Ning Nayla, ekon-pakonnah."
(Assalamu'alaikumm. Mbak Vivi dipanggil Ning Nayla, mau disuruh-suruh.)

Dengan tiba-tibanya salah seorang santri menghampiri mereka berdua.

"Wa'alaikumsalam. Okeeey," balas Vivi.

Santri tadi pergi setelah menyelesaikan amanahnya dari Ning-nya. Fidza memandangi Vivi. "Uwihh, ternyata kamu dikenal sana Ning Nayla, ya," katanya.

Vivi terkekeh. "Ini adalah salah sau ketidak enakan jadi orang pintar yang selalu juara satu,"

"Loh, kenapa gitu?" Kening Fidza dikernyitkan.

"Jadi babu cuy," bisik Vivi.

Fidza tergelak. Benar juga apa yang dikatakn Oleh Vivi. Menjadi seseorang yang terkenal dikalangan, tentu saja memiliki plus minusnya.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang