Bab 33 - Gundukan Tanah yang Masih Basah

19 3 0
                                    

"Fidza, jangan pernah mau bersenang-senang di atas tempat hukumannya Nabi Adam sama Siti Hawa."

Fidza masih kelas 2 SMP. Dirinya dan bapak sedang ada di teras menyirami tanaman milik ibu. Kepala Fidza ditolehkan. Pria paruh baya itu ada di sebelahnya.

"Maksudnya gimana tuh, Pak?"

Sang bapak terdengar menghela napasnya. "Gini, Nabi Adam sama Siti Hawa dihukum di dunia ini. Jadi, jangan sampe kamu seneng-seneng di atasnya. Yaaa kalo seneng-seneng sama keluarga, temen, sahabat, itu nggak papa lah. Yang dimaksud seneng-seneng di sini itu, ketika kamu udah sampe terlena sama kefanaan dunia. Ketika kamu udah lupa sama yang menciptakan alam semesta," papar sang bapak.

Kepala Fidza dianggukkan. "Ada lagi, Pak?"

Pertanyaan polos itu terucap dari bibir mungil anak sulungnya. Membuat Umar terkekeh mendengarnya.

"Mahkota seseorang adalah akalnya, derajat seseorang adalah agamanya, sedangkan kehormatan seseorang adalah budi pekertinya."

Fidza selalu suka dinasehati, Fidza selalu suka termotivasi, Fidza selalu suka mendengar Umar berbiacara tentang agama. Ibu bilang, Fidza adalah duplikat dari bapaknya. Tidak heran, keduaya sama-sama memiliki kesukaan dan hobi yang serupa. Yakni, berbicara.

Kedua mata itu masih memanas. Jalanan di jendela bus dengan rute Madura-Jakarta ia pandangi dengan sendu. Hampa dihatinya tidak dapat lagi ia obati. Bayang-bayang sang bapak terus berkeliaran di pola benaknya.

Gedung-gedung besar mulai terlihat di kaca bus. Meski Fidza rindu Jakarta, namun ia tidak pernah menginginkan perasannya pulang dengan luka. Meski Fidza sangat merindukan asap limbah yang ada di jalanan kota, Fidza tidak pernah menginginkan pulang dengan deraian kedua air mata.

Sendiri dari Madura dengan jarak yang tidak begitu dekat, cukup mampu membuat Fidza merasakan kesepian. Tidak ada yang bisa menemani, dari pihak Pondok Pesantren pun hanya menyampaikan duka cita dengan bela sengkawan.

Fidza benar-benar sendiri sekarang. Kedua kakinya ditekuk ke atas, kepalanya ditenggelamkan di antara lipatan kedua lututnya. Sofa bus di sebelahnya kosong tanpa orang, membuat Fidza bisa bebas menangis sesuka hatinya.

Perjalanannya di tempuh selama setengah hari. Tidak memiliki uang, jelas jalan satu-satunya Fidza kembali ke Jakarta adalah dengan menaiki bus. Kendaraan besar itu memberhentikan dirinya di sebuah stasiun. Fidza segera turun.

Gadis itu mencegat taksi, kedua matanya yang memerah menjadi sebuah objek perhatian orang-orang di sekitarnya. Namun, apakah Fidza merasa malu dilihati? Tidak. Satu yang ada di kepalanya hanyalah sosok Bapak.

Fidza mendapatkan taksi, gadis itu memasuki mobil beroda emopat. Menyebutkan alamat pekarangan rumahnya, tidak sampai 30 menit Fidza sudah sampai. Transaksi dengan sopir taksi sudah Fidza lakukan. Kedua kakinya melangkah di atas paping gang pekarangan rumah.

Warna pagarnya masih sama. Berwarna kuning sedada. Bapak tidak pernah suka jika ibu meminta untuk mengganti warnanya. Tepat di sebelah pintu sana, sebuah bendera kuning terpampang. Kedua mata Fidza kian memanas. Tak kuasa menahan isakannya.

Biasanya, bapak akan ada di kursi yang tersedia di depan pintu itu. Duduk sembari membaca koran ditemani secangkir kopi ketika di ujung pekan. Namun sekarang, Fidza tidak melihat bapak. Keramaian di rumahnya justru membuatnya merasakan sepi.

Seakan-akan terdapat pemberat dikedua kakinya, mengapa Fidza sangat susah untuk melangkah?

"Mbak Fidza!"

Seruan itu berasal dari Salwa. Adiknya yang nomor tiga berseru memanggil namanya sembari berlari menghampirinya. Fidza berjongkok, untuk memudahkan Salwa memeluk badannya.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang