Bab 16 - Lagi, dan Lagi

19 1 0
                                    

Ruangan ini cukup lebar. Berbeda dengan ruangan keamanan. Salah satu Ustadzah yang ada di dalamnya duduk dengan anteng di kursi. Kedua matanya masih fokus pada secarik kertas yang sibuk di coreti dengan pulpen hitam.

"Assalamu'alaikum, Pak, Buk."

"MBAAAAAK FIDZA!!!"

Fidza menjauhkan ponselnya dari telinganya. Gadis berhijab ungu itu terkekeh merdu mendengar keantusiasan adik-adiknya.

Fidza ada di ruangan Ustadzah Jannah sekarang. Salah satu keamanan yang memegang urusan kesiswaan. Handphone yang ada di tangannya, ia meminjamnya dari Ustadzah Jannah.

Sekitar setengah bulan berada jauh dengan sang keluarga, rasa rindu timbul pada hati Fidza. Tak kuat membendung rasa rindunya, Fidza memberanikan diri meminjam handphone milik Pesantren.

"Salamnya Mbak dijawab duluuu," tegur Fidza kembali mendekatkan benda pipih itu pada daun telinganya yang tertutupi kain tipis berwarna ungu.

"Wa'alaikumsalam."

Fidza bisa mendengar salam serempak dari keempat adiknya.

"Apa kabar kalian semua?" tanyanya sembari mengingat satu-persatu wajah adiknya.

"Marwa gantiin Mbak Fidza bantu ibu tauu,"

"Tapi-tapi, salwa yang nyiram tanaman sekarang!"

"Kalo bapak pulang, Amar jadi pemenang yang ngambil jajannya, Mbak Fidz!"

"Itu kan karna kamu yang ngerengek minta semuanya."

Fidza terkekeh mendengar nada julit dari Salwa. Rupanya, adiknya yang ketiga itu masih sama dengan ciri khasnya. Kerinduan Fidza pada mereka semakin membuatnya ingin segera menuntaskan targetnya menjadi hafidzah 30 juz Al-Qur'an.

"Bapak sama Ibuk gimana kabarnya?" Gantian Fidza yang bersuara setelah keempat adiknya mengambil alih suara benda pipih yang ada didekat telinganya.

"Alhamdulillah Bapak sama Ibuk sehat Mbak ...."

Itu suara ibunya. Ahh, rasanya Fidza sangat merindukan mereka berdua. Sepasang irisnya memandangi kipas angin yang ada di tengah-tengah atap ruangan.

"Mbak Fidza gimana mondoknya? Betah ya, Mbak?" tanya sang bapak dari sebrang telepon.

"Alhamdulillah betah, Pak ...," katanya. "Tapi maaf, Pak, Buk. Nama Fidza mungkin udah ada di daftar santri melanggar aturan dua kali," tuturnya dengan rasa bersalah.

"Lohh, kamu melanggar aturan apa, Mbak?" tanya sang ibu. Terdengar jelas sekali bahwa sang ibu merasa keheranan.

"Bukan, Buk. Fidza nggak ngelanggar apa-apa. Cuman waktu itu Fidza sempet telat jama'ah di masjid gara-gara asik cerita sama temen baru Fidza. Waktu itu, kita berdua diselatin yang pas mau mandi, jadinya telat deh ke masjidnya," jelas sang anak.

Helaan napas sang ibu terdengar di sebrang sana. Suara-suara adiknya dapat Fidza dengar. Menebaknya, pasti handphone yang sedang digunakan untuk menelponnya tengah berada di atas meja, kemudian keempat adiknya akan melingkar mengelilingi meja.

"Yaudah, lain kali kalo cerita inget sama waktu," nasihat sang ibu.

Di sini Fidza menganggukkan kepalanya.

"Mbak Fidza kapan pulang?"

Pertanyaan itu dari si bungsu. Fidza dapat membayangkannya, Amar menanyakan pertanyaan itu dengan wajah sedih dan cemberutnya.

"Yaelah, alay banget kamu, Dek."

Lantas kekehan Fidza kembali terdengar. "Salwa ternyata tetep judes ya," lontar Fidza.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang