"Maaf. Aku sadar sekarang."
Kedua mata Fidza membola seketika. "Sadar? Emang sebelumnya kamu belum sadar?" tanya gadis itu.
Shani melepaskan pelukan mereka. Kedua matanya menyipit dengan tatapan horor andalannya. "Bukan elah!" cetusnya.
Fidza menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lah, terus apa?" beonya tak mengerti.
"Kayanya kelamaan di Jakarta bikin otak kamu ngelleg ya?"
Shani mendudukkan dirinya di atas akar pohon bringin yang besar. Gadis itu menatap Fidza dengan angkatan satu alisnya. Hanya ada mereka berdua di sini.
Fidza menampilkan deretan giginya. "Hehee, terlalu banyak menghirup asap kendaraana ya gitu," ujarnya.
Kedua bola mata Shani dirotasikan. "Ish, gara-gara kamu nih, vibes meweknya nggak jadi," lontarnya.
Kening Fidza kembali dikernyitkan tak mengerti. Gadis itu ikut mendudukkan dirinya di sebelah Shani. "Apanya, sih?"
"Waw maasyaAllahh ...." Shani menepul jidatnya pelan.
"Emang ada apaan ege? Serius nanya inihh," desak Fidza. Gadis itu merasa penasaran dengan maksud yang Shani ucapkan. Tidak berniat menipu, Fidza benar-benar tidak tahu.
Menghela napasnya sebentar. Kedua mata Shani mengamati langit biru yang ada di atas. Membentang dengan panjang nan luas. Mega-mega putih yang berhamburan bagaikan kapas. Matahari bersinar terang dan para anak-anak kecil yang bermain dan berkeliaran di tengah sawah.
"Aelah lama bener. Tinggal jawab aja kudu ngeliat langit kamu!"
Cetusan dari Fidza membuat Shani menolehkan kepala. Atensinya teralihkan. Gadis itu menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. Jidatnya juga ditepuk dengan pelan.
"Aku tuh lagi bikin vibes mellow woi! Lu napa sihh, elahh." Kedua tangan Shani dilipat di depan dada.
Fidza mengembuskan napasnya kecil. Kepalanya didongakkan. Langit di atas sana sangat terlihat nyaman untuk dipandang. Rindangnya daun dari pohon bringin ini menghalangi mereka berdua terkena langsung cahaya matahari.
"Yaelah, kamu juga lama banget jawabnya. Pakek natap langit segela!"
Bukan Fidza yang berbicara, giliran Shani yang menyeletukkan kalimat itu. Deretan giginya Fidza tampilkan. Urung sudah niatnya untuk menjadi galau.
"Gagal galau, deh," celetuknya.
Shani menggaruk sebelah pipinya. "Ini kapan mulainya, deh."
"Hah? Apanya mulai? Kamu mau ngadain hajatan?"
"Allahu ...." Shani gregetan. Sedangkan Fidza menampilkan wajah kebingungan.
Apakah hanya karena diberi kata-kata ingin dijadikan istri membua otak Fidza kekurangan jaringan?
Mengambil napas dan membuangnya, Shani mengusap dadanya dengan sabar. "Gini," Bibir bawahnya dibasahkan. "Aku udah sadar, kalo pacaran itu nggak boleh dan haram hukumnya dalam islam."
Perlu beberapa detik untuk Fidza bisa mencerna perkataan Shani. Setelah tersadar, barulah sepasang iris kecokelatan itu membola dengan mulut yang menganga.
"Aku nggak salah denger, kan?" tanyanya.
Shani menampilkan senyumannya. "Nggak, kok."
Barulah setelah 2 kata itu terucap, Fidza segera menghampiri Shani dan memeluknya dengan erat. Kedua bibirnya melengkung ke bawah, kedua matanya hendak menumpahkan air mata. Lebih dari pada itu, Fidza sangat senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...