Kejadian beberapa menit lalu masih terngiang di dalam otak dan benak Fidza. Bukan semua bagian dari kejadian tadi di ruangan keamanan itu, melainkan sebagian kejadian yang berisi Gus Ramzi sebagai penyelamat hidup.
Ketika bau maskulin datang menyengat berada tepat di sebelahnya, Fidza terpaku menatap sosoknya. Dengan wajah tenangnya yang berparas tampan, Fidza mengetahui kalau Gus Ramzi itu sebenarnya panik. Rasa tenang yang ditampakkan oleh wajahnya hanyalah sebagai tipu daya.
Sebab ketika ia menatap matanya, sangat kentara bahwa kedua iris cokelat itu menampakkan rasa marah dan kecewa.
"Woi! Bengong mulu!"
Seruan dari Vivi menyadarkan Fidza dari keterpakuannya. Suara imam yang berceramah kalah nyaring dengan suara Vivi dan seruannya.
Fidza menolehkan kepala. Mukena dengan motif bunga-bunga berwarna putih yang dipakainya dibenarkan, sebab beberapa helai rambut terasa mencuat keluar. Angkatan satu alisnya cukup mampu menggantikan kata 'apa' yang seharusnya ia ucapkan.
Vivi menatap horor temannya. "Dengerin Ustadz ceramah tuh! Bengong aja muluu," seloroh gadis itu dengan dengusan kesal.
Fidza menampilkan deretan giginya. "Kan anu, meskipun aku nggak denger nggak bakalan ganggu. orang aku nggak nganu suara."
"Anu nganu anu nganu, dengerin!" tegas Vivi.
Fidza merapatkan bibirnya. Tangannya diletakkan di sebelah pelipis, berpose hormat pada bendera. "Enggi, Mbak," ucapnya berbahasa Madura.
Jadwal mereka ada di masjid utama ketika sholat Maghrib. Penghalang besar yang menghalangi batas antara santri laki-laki dengan santri perempuan menjulang tinggi di depan. Fidza dan Vivi berada di barisan paling belakang. Sementara Rysfa di barisan depan, dan Wisha dipinggiran.
Fidza menyandarkan kepalanya pada dinding masjid. Kedua matanya dipejam erat. Suara Ustadz yang berceramaah masih terdengar, 15 menit Ustadz itu berceramah sembari menunggu waktu sholat Isyak.
Pikiran Fidza melayang pada hukuman ynag Ustadzah Dalwa berikan. 2 Minggu dirinya bersantai, membuatnya sangat mengentengkan hafalan. Bagaimana ini, Fidza terlempar jauh dengan keinginannya pasa masa dini. Menjadi hafidzah 30 juz adalah cita-citanya. Namun sekarang dirinya malah banyak menghilangkan waktu untuk sekadar hafalan ataupun muraja'ah Al-Qur'an.
Sejauh ini, Fidza masih menghafal 2 juz Al-Qur'an. Entah kenapa untuk selanjutnya malah terasa lebih berat menghafalinya. Seakan-akan ayat-ayat Al-Qur'an itu menolak hinggap di dalam benaknya.
"Fidzaaaaa, kamu tuh ya, disuruh dengerin malah tidur."
Tanpa membuka matanya pun Fidza sudah tahu kalau suara itu berasal dari Vivi. Gadis yang berada d sebelahnya masih setia menggoncang-goncang tubuhnya hingga dirinya tersadar dari lamunan panjangnya.
Kelopak mata itu terbuka. Langit-langit masjid yang berwarna putih dipadukan dengan warna abu menjadi satu-satunya hal yang menyapa indra penglihatan Fidza. Gadis itu duduk tegak. Kepalanya ditolehlan ke samping.
"Vi, aku sekarang susah hafalan," ungkapnya kepada Vivi.
Satu alisnya terangkat. Gadis dengan tahi lalat tipis di pipi kiri itu menatap Fidza dengan wajah heran. "Kok bisa? Gara-gara ngurusin Shani?" tebak Vivi.
Fidza tidak yakin, penyebab dari keterhambatan otaknya mengahafal merupakan sahabat lamanya. Bukan, Fidza tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia rasa Shani bukanlah alasan yang tepat dari masalahnya, maka dari itu Fidza meggelengkan kepalanya.
"Oiya, kamu nggak tau kalo tadi aku sama Shani berantem di lapangan," tutur Fidza.
Sepasang bola mata itu membola. "Hah? berantem lagi?" Setengah kaget mendengarnya, Vivi mengecilkan suaranya agar tidak mengganggu jama'ah lainnya yang khusuk mendengarkan ceramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Roman pour Adolescents"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...