Nggak semua hal yang ada di Madura itu harus dikucilkan. Udara yang masih asri di Madura berbeda dengan udara di kota. Kicauan suara burung serta sahut-sahutannya kokokan ayam mungkin sudah mencari ciri khasnya. Dedaunan yang masih meneteskan air embun serta tanah yang lembab semakin membuat pagi ini terasa menyegarkan. Meski matahari belum juga keluar.
Sepasang iris kecokelatan milik Fidza menatap langit. Karena tidak ada cahaya matahari, maka langitnya masih petang. Namun di sebalah timur sudah berwarna keorenan.
"Gimana semalem kamu yang hafalan? Lancar?"
Pertanyaan itu membuat Fidza menolehkan kepalanya. Menatap Vivi yang berjalan di sebelahnya. Perlu waktu yang panjang untuk Fidza menjawab pertanyaan Vivi yang satu itu.
"Susah, Vi," tuturnya.
Gadis di sebelah Fidza mengernyitkan dahi. "Susah apanya?"
Fidza menipiskan bibir. "Susah hafalannya."
Kedua netranya kembali menatap langit. Hamparannya yang luas, dengan awan-awan kapas yang bertebaran luas. Meski tanpa adanya bintang, namun langit tetap menjadi hal favorite bagi sebagian orang. Salah satunya Fidza.
"Kenapa lagi?"
Pertanyaan itu Vivi tanyakan, sebab dirinya tahu menghafal tidak semudah memakan gorengan. Terlebih lagi yang dihafalkan adalah Al-Qur'an. Vivi sendiri harus menanyakan alasan dibalik kemurungan teman kotanya.
"Yaa, problem-nya sama kayaknya, Vi," tutur Fidza.
Vivi langsung mengerti. Kepalanya mengangguk sekali. "Gus Ramzi?" Pertanyaann yang satu ini Vivi ucapkan dengan berbisik-bisik.
"Yaa gitu deh."
Fidza mengembuskan napasnya. Kejadian semalam, di mana dirinya susah menghafal kembali terngiang. Wajahnya diusap kasar. Latas kedua matanya kembali menatap langit yang meneduhkan.
"Kan aku udah bilang, jangan diinget itu laki-laki yang bukan mahram," cetus Vivi.
Fidza tidak mengalihkan atensinya. "Orang kamu yang cungucu," cicitnya.
Vivi terkekeh. Aksen Fidza ketika berbahasa Madura selalu membuatnya tertawa. Terdengar kurang pas di mulut orang Jakarta. "Yaa maaf, kan aku khilaf."
Kepala Fidza digelengkan. "Khilaf mah cuma sekali, laah kamu malah berkali-kali," seloroh Fidza. Kedua matanya diedarkan menatap kanan-kirinya. Tidak ada santriwati yang lewat. Mungkin semuanya sudah berada di asrama untuk bersiap-siap sekolah.
"Yaudah deh, nggak akan lagi kayak gitu. Tapi kalo Wisha sama Rysfa yang mulai duluan, ya masak aku nggak ikutan. Yang bener aja, rugi dong."
Vivi terkekeh pelan, membuat Fidza menatapnya horor. Jilbab yang Fidza kenakan berwarna hitam. Mukena dan sajadahnya ada di dalam genggaman.
Satu menit diisi oleh keheningan. Baik Fidza maupun Vivi sama-sama diam. Keduanya terfokuskan pada pikiran masing-masing yang bercabang-cabang.
"Semalem susah banget, Vi, ngafalnya."
Barulah Fidza berani memulai obrolan.
"Susahnya itu kayak gimana?" tanya Vivi.
Fidza menghela. Ia menatap kedua kakinya yang melangkah. "Susahnya itu, hafalannya nggak mau nyantol diotak. Meski diulang beberapa kalipun tetep susah diiafalin. Yang kemarin-kemarin aku hafalin dan udah aku setorin, malah tiba-tiba aku lupain."
Sekawanan burung-burung yang tidak Fidza ketahui adalah jenis burung apa, melintas di atas mereka. Beserta dengan kicauannya. Suara ayam berkokok masih terdengar meksipun itu dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...