Bab 42 - Pencerahan

19 3 0
                                    

Berada di posisi ini sudah biasa bagi Fidza. Gadis itu mati-matian menahan rasa gugupnya. Kedua matanya menatap seluruh peserta yang banyak sekali jumlahnya. Jelas, karena perlombaan ini tingkat kabupaten. Bukan hanya sebatas perlombaan pondok pesantren.

Di sebelahnya ada Ustadzah Jannah. Bukan Ustadzah Salisah yang mendampinginya. Keluarga ndalem dan Ning Nayla tengah menuju ke sebuah tempat untuk melamar seseorang untuk Gus Ramzi nikahi. Alhasil, yang menjadi supir Fidza dan Uatadzah Jannah adalah Ustadz Amin.

Fidza berada di paling belakang. Namun urutan nomor dadanya berada di angka yang lumayan paling depan. Yah, di atasnya angka 5 lah.

Ngetter lagi aku. Batin Fidza.

Gemetaran di kakinya beserta dengan rasa mules yang dirasakannya tak kunjung sirna. Fidza sudah 2 kali merasakannya, dan ketiga kalinya ini, Fidza masih belum bisa mengendalikannya.

Ia berjingkak kaget kala merasakan sebuah sentuhan sekilas dibahunya yang tertutup baju. Kepalanya ditolehkan ke belakang, 5 langkah dari tempat duduknya, Ustadz Amin berdiri.

"Saya tau kamu gemetaran kan," ujar laki-laki itu.

"Diiih, Ustadz sotoy."

Meski jarak mereka tidak terlalu jauh, kedua pandangannya tetap mengarah pada lantai, sama-sama enggan menatap wajah satu sama lain. Ustadzah Jannah sibuk memainkan handphone di tangannya.

"Masa sih, kok kakinya geter-geter gitu? Saya rasa, kalo sekarang gempa, kaki saya juga bakalan ikut geter."

Fidza mendengus. "Ustadz kalo cuman mau ledekin mending diem aja, deh," kesal Fidza.

Kekehan Ustadz Amin dapat ia dengar.

"Tuh, kan. Ustadz ini emang beneran mau ngeledekin aku." Kalimatnya diakhiri dengan decakan.

Barulah Ustadz Amin meredakan tawanya. "Kenapa kamu nggak nyoba buat nikmatin aja rasa gemetaran itu, Za?"

Fidza tertegun.

"Terus gemeteran dan ngerasa takut bakal bikin performa kamu nggak memuaskan, lohh." Jeda. "Kamu kan udah usaha, ya, terus apa yang udah kamu usahain, kamu praktekin nanti. Tunjukin sebisanya kamu tunjukin, tampilin kayak biasanya kamu latihan tiap harinya. Yang bikin kamu takut itu reaksi setiap peserta dan juri yang ngeliatnya, kan."

Untuk sekarang, kedua mulut Fidza masih terkunci dengan rapat. Terlalu cepat rasanya berbicara di saat-saat seperti ini. Memilih mendengarkan sepertinya merupakan pilihan yang terbaik.

"Gini, kamu nikmatin aja semuanya. Kamu enjoy, kamu santai, kamu rileks. Menurut saya, berbicara di depan umum itu sama aja dengan kita bercerita di depan teman-teman kita. Kalo cerita ke teman-teman kita, kemungkinannya kita nggak di dengerin. Tapi kalo kita cerita ke orang-orang yang lain, kayak kita bicara di depan umum, bukannya kita bakal lebih di dengerin?"

Kepala Fidza mengangguk satu kali sebagai reaksi. Bising suara mikrofon yang menyebutkan nama peserta selanjutnya tidak dirinya pedulikan.

"Kalo ceritanya didengerin dengan sungguh-sunguh, harusnya kita berusaha dengan baik menyampaikan apa yang mau kita sampaikan, kan. Karena apa? Karena kita didengerin."

Baru kali ini Fidza mendengar Ustadz Amin berbicara panjang lebar.

"Jangan anggep semua yang nonton itu batu. Justru kalo kamu tampil di depan umum, kamu harus berani berkontak mata dengan mereka yang natap kamu. Ibaratnya kamu ngajak mereka buat beli barang jualan kamu, nggak akan mungkin kan kamu nawarinnya dengan cara nundukin kepala atau berusaha nggak natap matanya. Justru kamu harus tatap-tatapan biar kamu bisa ngeyakinin dengan betul-betul buat beli dagangan kamu."

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang