Mobil putih itu berhenti di pekarangan Pondok Pesantren Al-Islamiyah. Hari sudah petang, dan Fidza sudah selesai berlomba. Suara para santriwati yang tengah mengaji malam dapat mereka dengar.
"Istirahat ya kalian, makasih udah mau mewakili Pondok Pesntren ini. Saya bangga dengan usaha kalian dan hasil kalian."
Ustadzah Salisah menatap satu persatu santriwatinya. Kelima santriwati itu mengangguk. Setelah diperintahkan kembali ke asrama untuk beristirahat, barulah kelima santriwati itu berjalan menuju tempat istirahatnya.
"Fidzaaaa! Rysfaaa!"
Kedatangan Fidza dan Ryafa disambut oleh seruan Wisha. Gadis itu menatap dengan binaran kesenangan yang sangat kentara di kedua bola matanya. Fidza terkekeh melihat Wisha yang seperti anak kecil kegirangan kala menyambut ayahnya pulang.
"Apaan lu begitu? Aku sama Fidza nggak bawa oleh-oleh loh ya!" tegas Rysfa. Gadis itu tiba di teras asrama, ia menduduki kursi panjang yang ada di sana.
Wisha berdecak. "Yaelah, orang mau nyambut temen pulang lomba aja dikira minta jajan. Eh tapi kalo beneran ada boleh lah ya."
Rysfa merotasikan bola matanya sementara Wisha menampilkan cengiran polosnya.
"Kamu kok nggak ke mushalla, Wish?" tanya Fidza. Gadia dengan abaya berwana hitamnya itu mendudukkan diri di sebelah Rysfa.
Wisha menghela. "Aku red," tuturnya. Fidza menganggukkan kepalanya mengerti dengan mulut yang dibulatkan.
"Emm, tadi gimana lombanya, Mbak Fidz?"
Yang lebih muda bertanya. Fidza menghela napasnya. Gadis itu menerawang ke depan. Kembali mengingat momen lomba saat dirinya berada di atas panggung dan di depan semua orang.
"Nggak lancar, aku banyak kelirunya. Jadinya nggak bisa pulang bawa piala."
Benar, Fidza kalah. Berbicara di depan umum bukan pertama kali baginya. Namun mengikuti lomba seperti ini adalah pengalaman baru untuknya. Fidza kecewa karena telah membuat kecewa Ning Nayla.
"Yahh, nggak papa Mbak, namanya juga lomba. Pasti ada menang-kalahnya," kata Wisha.
Mendengar itu Fidza menganggukkan kepalanya. Gadis itu menatap ke depan. Teringat selama ini Ning Nayla mengajarkannya dengan sungguh-sungguh saat berlatihan. Namun hasil penampilan tadi tidaklah begitu memuaskan.
"Kalo kamu, Rys?" Wisha berganti menatap Wisha. Gadis dengan setelan baju hitam serta celana hitam itu memejamkan mata dengan kepala yang disandarkan.
"Sama. Padahal kalo menang dipertandingan yang keempat kalinya itu, aku bisa ikut ngeraih juara dua sama satu, eh malah kalah di final," cerita Rysfa. Kedua matanya masih terpejam.
Wisha ikut sedih mendengar cerita kedua temannya. "Yahh, gapapa-gapapa. Nice try kok. Kalian udah usaha semampu kalian, bukan salah kalian kalo hasilnya nggak sesuai."
Di sini Wisha mencoba menanangkan. Meski gadis itu menjadi yang termuda dari keempatnya, termasuk Vivi Juga. Wisha memiliki pemikiran yang dewasa. Gadis itu hanya kekurangan dibagian polosnya saja.
"Udah sholat Maghrib, kan?" tanya Wisha.
Fidza menganggukkan kepala. "Udah, di lokasi tadi," tuturnya.
"Bagus, deh. Kalo gitu kalian mandi aja sana, habis itu segera ke mushalla dan ikut jamaah sholat Isyak. Takutnya sebentar lagi Ustadzah Dalwa datang dan nanyain kok kalian nggak jama'ah. Nanti yang ada kalian di hukum, loh ...."
Nah, ini nih yang kurang dari Wisha. Gadis itu suka kelewatan polosnya.
"Kan kita berdua habis dateng ikut lomba, ege!" sarkas Rysfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...