Epilog

47 4 0
                                    

""Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."

"Bagamana para saksi?"

"SAH!!!"

Bergetar hati Fidza mendengar seruan itu. Kedua matanya memanas dan menumpahkan buliran bening yang terasa asin. Perasaannya sangatlah campur aduk. Fidza bisa melihat ibunya yang datang dibalik pintu.

"Ibuuk ...."

Segera gadis itu hampiri sosok wanita yang menjadi sebabnya ada di dunia. Fidza menangis dalam pelukan sang ibu. Sedangkan Asyiah menepuk pungung anak sulungnya yang memakai abaya berwarna putih serta riasan di wajahnya yang terlihat sangat cantik.

"Jadi istri yang baik ya. Turutin semua perintah suami kamu kecuali itu perintah yang menentang larangan Allah. Sekarang, Surga dan ridho kamu bukan di ibu, tapi di suami kamu."

Fidza kian terisak mendengar kalimat yang dilontarkan oleh sang ibu. Berada di posisi ini tidak pernah ia raskaan akan terjadi dalam hidupnya. Setelah kedatangan Ustadz Amin yang ternyata ingin melamarnya, akad nikah mereka digelar 1 bulan ke depannya. Di gedung megah yang ada di salah satu Jakarta. Semua tanggungan biayanya ditanggung oleh keluarga Ustadz Amin.

"Yaudah yuk, temuin suami kamu."

Detik itu juga jantung Fidza berdebar dengan kencang. Air matanya diusap oleh sang ibu. Marwa, Halwa, dan salwa menatap Fidza dengan tatapan yang berbeda. Fidza mengerti tatapan itu.

Dengan langkahnya yang anggun, serta gaun berwarna putih yang ia keenakan, Fidza berjalan menuju tempat pelaminan. Di mana di sana, sosok laki-laki yang dengan seribu kejutannya tengah menanti.

"CIEEEE FIDZAAAA!"

Fidza dapat mendengar seruan itu. Tanpa menoleh ia sudah mengetahui kalau seruan itu berasal dari Wisha. Fidza enggan menatap ke depan, kepalanya terus ia tundukkan.

"Mbak Fidz, kakak ipar aku ganteng bangett!" bisik Marwa di telinga kanannya.

"Iyaa cuy, ahh mungkin kalo nggak jadi suaminya Mbak Fidza, bakal aku jadiin gebetan tuh!" sahut Hakwa di telinga kirinya.

Fidza mengabaikan bisikan kedua adiknya. Perasannya campur aduk sekarang. Debaran di dadanya tidak bisa ia singkirkan. Kedua matanya bisa melihat sepasang sepatu hitam yang ada di depannya. Gandengan Marwa dan Halwa dilepaskan.

"Fidza, cium punggung tangan suami kamu," intrupsi Asyiah yang ada di belakangnya.

Kedua tangan Fidza gemetar. Gadu itu tidak tahu harus memulai dari mana. Kepalanya tidak didongakkan. Fidza malu sekaligus takut.

"Fidza," panggil ibunya sekali lagi.

Sorakan dari penonton serta seruan dari teman-temannya dapat Fidza dengar. Satu kai ini Fidza memberanikan diri mendongakkan kepalanya.

Kedua irisnya bersitatap dengan sepasang iris gelap milik Ustadz Amin. Bibir tebal itu berwarna merah. Kedua alisnya tebal. Kulitnya berwarna sawo matang. Garis hidungnya mancung. Pahatan-pahatan wajah yang sangat sempurna itu membuat Fidza sulit berkedip.

Tiupan dari Ustadzh Amin membuat Fidza memejamkan matanya. Gelakan tawa yang menggelagar di gedung ini membuat Fidza salah tingkah sendiri. Kepalanya kembali menunduk, namun kedua tangannya kini meraih tangan kekar milik Ustadz Amin. Diciumnya dengan penuh khidmat punggung tangan itu. Fidza dapat merasakan usapan tangan Ustadz Amin di ubun-ubunnya serta do'a yang Ustadz Amin lafalkan untuk dirinya. Dalam diam Fidza ikut mengamini juga.

Tangan kekar itu sudah selesai Fidza salimi. Badan Fidza kembali membeku kala merasakan benda kenyal itu menempel pada keningnya cukup lama. Disertai dengan tepukan tangan meriah serta godaan para teman-temannya, Fidza masih tercengang kala Ustadz Amin menciumi keningnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang