Hawa di Madura masih menjadi satu-satunya hal hang Fidza suka. Ketenangannya berbeda dengan Jakarta. Adat-adat tradisionalnya masih kental. Tidak ada yag terpengaruh dunia luar atau bahkan limbah pabrik dan bahan bakar.
Madura akan tetap dengan ciri khasnya. Adab yang diutamakan, sopan menjadi nomer yang pertama, kemudian kekayaan menjadi yang ke sekian. Sawah yang membentang luas dengan banyaknya, membuat siapapun orang kota yang datang ke Madura akan terkejut dengan pandangan yang menjelama indra.
Pagi hari di Madura disambut oleh sahutan ayam berkokok beserta bunyi-bunyi burung yang beterbangan. Air embun yang membasahi rumput ilalang, serta cahaya matahari yang masih belum terlihat ke luar, bukan berarti masyarakat di Madura harus menunggu pukul 8 siang untuk memulai aktifitasnya.
Lalu lintas kendaraan yang tidak terlalu padat, karena masih terbilang pedesaan. Serta kerusakan-kerusakan kecil di atas aspal. Pemandangan di kanan-kiri terdapat sawah yang hijau membentang.
Meski jalanan bergoyang-goyang. Fidza dapat menjamin orang-orang tidak akan pernah jenuh dengan pemandangan yang seakan menghipnotis indra penglihat.
Kelas pagi dimulai.
Bukan Fidza yang harus memasukinya, melainkan para teman-temannya yang bersekolah madrasah. Peraturan di Pondok Pesantren ini, jika kau mau menghafalkan Al-Qur'an, maka kau harus fokus pada satu tujuan.
Seperti yang dikatakan Vivi kala itu, menghafal Al-Qur'an tidak bisa diganggu dan dicampuri dengan yang lainnya. Penghafal Al-Qur'an itu harus fokus pada tujuannya.
Maka dari itu, sekarang adalah waktu untuk Fidza menghafal.
Gadis berjilbab hijau itu melangkahkan kakinya menuju pohon beringin yang ada di sebelah asrama. Dengan mushaf Al-Qur'an kecil yang ada dipelukannya. Fidza berszikir sembari terus melangkahkan kedua kakinya.
"Eum, kalo hafalan di sini nggak ada yang ngelarang, kan?"
Fidza menatap kanan-kirinya yang kosong tanpa orang. Gadis itu berguman dan bertanya tanpa adanya jawaban. Lantas setelahnya, Fidza mendudukkan dirinya pada salah satu akar pohon bringun yang lumayan besar.
Napasnya dihembuskan.
Kedua matanya menerawang ke depan. Bukan, Fidza tidak sedang lagi merindukan keluarganya atau bahkan memikirkan Shani, sahabat kecilnya. Tapi Fidza tengah menatap sawah-sawah yang hijau membentang di depanya. Para petani sudah turun ke sawahnya masing-masing. Sedangkan udara sejuk tengah Fidza rasakan di bawah pohon bringin.
"Okedeh, aku harus nyiptain target dulu nih. Biar lebih fokus hafalan," gumamnya.
Tangan lentiknya menggulir lembar demi lembar kertas putih yang berisikan coretan-coretan arab berukiran yang disebut Al-Qur'an.
"Ehm." Kedua mata Fidza menatap jam yang ada di mushalla untuk santriwati. Jam dinding yag berbentuk lingkaran itu, jarum besarnya menunjukkan pukul 1, sedangkan jarum pendeknya berada di angka 8.
"Setengah 9 aku harus hafal 4 lembar."
Karena bagi Fidza, menciptakan suatu target akan membuat tujuan kita terasa lebih terarahkan.
"Oke, mulai. Audzhubillahiminassyaitonirrajim ...."
Kedua mata itu menatap tulisan berukiran arab di atas mushaf kecilnya. Dengan penuh kesemangatan dan kefokusan yang besar untuk mengingtanya dan menyimpannya rapi di dalam otaknya.
Suara santriwati yang belajar di dalam kelas dapat Fidza dengar dari sini. Meskipun begitu, bukan berarti Fidza harus berhenti untuk mneghafal lagi. Ketenangan yang tercipta di sini sudah cukup mampu nembuatnya lebih cepat mengahafalkan ayat demi ayat suci Al-Qur'an yang ada pada genggamannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...