Bab 1 - Rumah

53 8 0
                                    

Perpisahan memanglah menjadi satu-satunya hal yang menyakitkan. Menghabiskan waktu yang cukup lama dengan seseorang, tentu saja menghadirkan rasa sayang yang amat dalam. Tiba-tiba harus berpisah, rasanya seperti kehilangan sebagian besar dari kehidupan.

Itulah yang Fidza rasakan 3 tahun lalu. Saat mendengar kabar bahwa Shani akan pergi melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren. Waktu itu, Fidza juga ingin ikut, namun ekonomi keluarganya menghalangi Fidza untuk menempuh pendidikannya. Alhasil, kedua pasang sahabat itu harus berpisah demi pendidikan mereka.

Setiap perpisahan diawali oleh sebuah pertemuan. Fidza masih mengingatnya. Waktu itu Fidza 7 tahun. Hari di mana Fidza bersekolah dan mendapatkan banyak teman. Fidza merupakan pribadi yang penurut dan ceria. Sedangkan Shani sangat egois dan keras kepala. Waktu itu Shani menjadi bahan pembully-an teman-teman mereka. Fidza menjadi orang pertama yang menolong. Memeluk tubuh Shani yang bergetar ketakutan, mengatakan kata "jangan nangis, ada aku" dengan sangat tenang. Sejak itulah persahabatan mereka terjalin.

Setiap tetes air mata yang jatuh saat perpisahan, membuktikan bahwa yang akan berpisah sudah pastinya sangat disayang.

Fidza masih mengingat saat di mana Shani menangis tersedu karena akan berpisah darinya. Shani yang sesenggukan mengucapkan selamat tinggal, dan Fidza yang tertawa cekikikan karna ingus Shani yang terus keluar.

"Kalo aku nggak punya temen di sana, gimana dong?" Bahu Shani berguncang senada dengan isak tangisnya.

"Ya kamu cari lah, jangan diem aja," sahut Fidza enteng.

"Aaa Fidza ... gak mau pisah ...." rengek Shani memeluk tubuh sahabatnya.

Fidza terkekeh. Ia menepuk 2 kali pucuk kepala Shani yang tertutup hijab. "Udah ... jangan nangis. Kita bakal ketemu lagi, kok."

"Kapan?" Suara Shani terdengar serak.

"Nanti. Di Jannah-Nya."

"Yahh, kalo itumah masih lama ketemunya ...." Tangis Shani kian kencang. Fidza tergelak.

Bibir Shani mengerucut. "Iya kalo aku masuk surga, kalo akunya masuk neraka, gimana?"

"Hus! Gak boleh ngomong gitu, ish!" tegur Fidza. "Kita pasti bakal masuk surga. Karna kita orang islam. Gak boleh ngomong yang aneh-aneh, kalo ada malaikat lewat terus dicatet gimana, hayo?"

"Astagfirulloh, aaa Fidza mah."

Semakin kencang tangis Shani, sedangkan Fidza tergelak. Di bawah rindangnya pohon mangga. Di tengah lapangan yang sepi tanpa ada satu atau dua manusia. Hanya ada mereka berdua.

Sepasang sahabat yang akan berpisah.

"Shan, aku kangen banget sama kamu."

Fidza menghela napasnya. Baju-baju yang telah ia lipat dimasukkan satu persatu ke dalam tas. Jajan serta cemilan, juga hadiah yang diniatkannya akan diberikan pada sahabatnya, Fidza letakkan pada bagian tasnya yang masih kosong.

"Mbek! Dipanggil ibu!"

Kepala yang tertutup jilbab segi empat berwarna hitam itu ditolehkan. Kedua mata bulatnya menyipit. Menatap horor gadis kecil yang berdiri di ambang pintu. Es krim yang ada di tangannya membuat belepotan mulutnya.

"Manggil dulu yang bener, baru mbak mau keluar," tegur yang paling tua.

Di ambang pintu, gadis kecil memakai kerudung berwarna ungu itu menampilkan cengiran polosnya. "Oke-oke, ulang."

Fidza merotasikan bola matanya.

"Assalamu'alaikum, Mbak Hafidza-ku yang paling cantik. Mbak dipanggil ibu," ucap manis gadis kecil berumur 12 tahun itu.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang