Jum'at siang kala itu, seluruh santriwati di bebasakan melakukan apa saja. Setelah pagi harinya beberes kamar dan kerja bakti di lapangan, para Ustadzah memperbolehkan santriwatinya berkatifitas bebas. Tidak ada pelajaran dan tidak ada jadwal ngaji ataupun yang lainnya.
"Bantuin woi!"
Seruan itu membuat kepala Fidza ditolehkan. Sepasang irisnya bisa melihat Rysfa yang sedang mengulek sebuah petis di atas cobek. Gadis tomboy itu memarahi Wisha. Karena Wisha hanya memakan buah yang telah Vivi dan Shani kupas kulitnya tadi.
"Apaan siii," sewot Wisha. Gadis itu tidak akan terpengaruh oleh bentakan dari Rysfa. Karena Wisha telah biasa menerimanya.
Saat ini, berada di teras asrama menjadi satu hal yang akan cocok untuk menenangkan pikiran. Bersama dengan buah-buahan yang telah terkupas kulitnya serta cobek yang di atasnya sedang diulek sebuah petis khas madura. Fidza diajak rujakan oleh teman-temannya.
"Kamu dari tadi makan mulu, sekali-kali bantuin kek," cercah Rysfa. Gadis itu masih fokus pada kegiatannya yang mengulek petis itu hingga menjadi sedikit cair.
"Yaelahh, kan aku paling muda di antara mbak-mbak ku yang cantik ini, nggak papa lah nggak usah bantuin," timpal Wisha. Gadis itu menyengir lebar.
Rysfa mendengus. "Mesti jawabannya selalu gitu."
Fidza terkekeh bersama dengan Vivi. "Kamu kelahiran berapa sih, Wish?"
Wisha membulatkan mulutnya. "Jadi selama ini kamu nggak tau Mbak Fidz?" Kedua bibirnya ditekuk ke bawah.
"Alay!" sarkas Rysfa.
"Sirik aja lu," sewot Wisha dengan lirikan matanya tajam.
"Jadi yang bener berapa?" Fidza bertanya lagi.
"Wisha itu kelahirannya sama kayak kita, cuman beda bulan doang."
Sahutan itu berasal dari Vivi. Gadis itu tengah memotong-motong buah menjadi bagian-bagian kecil untuk bisa dimakan bersamaan denga petis yang masih Rysfa ulek.
"Nggak muda-muda banget berarti dong," ujar Fidza.
"Cuman wajahnya aja yang keliatan imut, aslinya dia nggak muda kok. Beda bulan doang sama kita," sahut Shani menimpali.
"Ihh, meski gitu aku tetep yang paling muda!" seru Wisha. Tatapannya jengkel pada Shani dan Vivi.
"Iya-iya, emang paling muda kamu tuh, dari tingkah lakunya aja kadang bikin orang mau nampol, greget bangettt." Rysfa menyahuti, senyumannya itu adalah senyum paksa.
"Nah, gitu dong," sahut Wisha. Dada kirinya ditepuk dengan bangga. Lengkungan dibibirnya pun ikut tercipta.
Fidza kembali terkekeh di sini. Kedua matanya di edarakan menata sekitar. Banyak santriwati yang berada di luar asrama ataupun di dalam asrama. Masing-masing dari mereka berbeda-beda aktifitasnya.
"Shan, Dea mana?" tanya Fidza.
Kedua matanya di edarkan menatap sekumpulan santriwati di depan sana. Namun salah satu di antara mereka, Fidza tidak menemui keberadaan Dea.
"Dea itu masih sakit hati tau, aku udah bujuk dia buat nggak sakit hati, tapi dianya malah terus-terusan ngegalau," tutur Shani. "Yaudah deh, aku biarin aja di menyendiri sampe sembuh dengan sendiri." Bahu itu diangkat dengan ringan.
Fidza mengembuskan napasnya. "Jatuh cintanya terlalu dalam itu. Yahh, gitu deh kalo cintanya manusia nggak didasari cinta karena Allah." Pandangan mata Fidza menatap petis yang di uleki oleh Rusfa. Petis cair itu dicampuri dengan irisan beberapa cabai. Fidza meneguk ludahnya, ia jadi penasaran dengat rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Teen Fiction"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...