Jauh berada dari otangtua bukanlah suatu hal yang mudah bagi Fidza. Tempat yang berbeda, lingkungan yang berbeda, teman yang berbeda, serta peraturan yang tiba-tiba ada. Fidza terkadang merasa rindu dengan Jakarta, tapi dirinya seakan enggan meninggalkan Madura.
Santri di pondok pesantren ini memang sedikit jumlahnya, namun ketika mengantri untuk mandi, ternyata cukup lama juga. Pondok menyediakan 10 kamar mandi untuk putri. Tentu saja mereka tidak akan mendi bergiliran dengan sendiri-sendiri. Itu hanyalah akan membuat waktu mereka terbuang banyak.
Mandi bersama dua atau empat orang sekaligus merupakan solusi.
Fidza awalnya merasa terkejut mendengar fakta itu. Meski pertama kali dirinya merasa malu, namun perlahan-lahan ia bisa beradaptasi dengan keadaan.
Makan pun juga begitu. Bukan makan yang disiapi oleh ibu-ibu kantin ataupun sejenisnya. Namun di pondok pesantren ini, sekumpulan santri harus membentuk kelompok untuk giliran memasak nasi. Makan pun juga tidak sepiring sendiri, melainkan satu piring besar yang terkadang berisikan jatah makan untuk sepuluh orang.
Itulah kehidupan santri. Apa-apa serba mengantri dan tidak sendiri. Melainkan beramai-ramai dan nggak akan terpecah berai. Meksipun masih ada yang bertengkar, meskipun masih ada yang ribut perkara ujian ataupun tes-tesan. Saat sudah berada di atas piring yang sama, maka mereka diwajibkan rukun antar sesama.
Hal itu mulai biasa Fidza hadapi setiap harinya. Namun untuk telat mengikuti sholat jama'ah di masjid utama bukanlah suatu hal yang dapat Fidza biasakan.
Kedua langkah kakinya cepat, mukenahnya masih ada dalam genggaman tangannya. Kepanikan menggerogoti isi hatinya. Vivi yang ada di sebelahnya sedari tadi mengeluarkan keringat dingin. Mungkin gadis itu juga baru pertama kali merasakan moment-moment keterlambatan seperti ini.
"Allahuakbar!"
Suara imam memulai shalat Maghrib terdengar sampai pekarangan luar masjid. Fidza dan Vivi kian bertambah deg-degan. Irama jantung mereka sama-sama berdetak tak karuan. Rasa takut terkena hukuman mulai muncul kepermukaan.
Sial memang, telat mereka di saat jam berjema'ah sholat maghrib. Seluruh santri diwajibkan pergi ke masjid utama yang terletak diperbetasan santriwan dan santriwati. Jaraknya lumayan jauh dari asrama putri. Yaaah, sebenarnya memanglah salah mereka berdua yang sempat kelamaan bercerita saat mengantre mandi, sehingga berada diurutan terakhir.
Satu kaki Fidza menginjak lantai putih masjid yang bersih.
"Setelah sholat maghrib, kalian berdua langsung menemui saya di ruangan keamanan!"
Mati!
Fidza meneguk ludah. Tanpa menolehpun ia sudah tahu kalau itu adalah suara Ustadzah Dalwa. Lantas kepalanya ditolehkan bersamaan dengan Vivi. Menunduknya mereka berdua bukan karena rasa hormat, melainkan rasa ketakutan.
"Na'am, Ustadzah."
"Silakan sholat!" tegas sang ustadzah.
Fidza dan Vivi bergegas pergi memasuki masjid utama dengan terburu-buru beserta rutukan yang terus tertuju kepada diri mereka sendiri.
***
"Jelaskan alasan keterlambatan kalian secara rinci tanpa ada kabohongan!"
Ruangan sempir ini cukup gelap. Hanya ada satu lilin sebagai alat penerang. Entah apa yang diharapkan oleh Ustadzah Dalwa mengintrogasi santrinya di tempat yang minim pencahayaan ini.
"Mohon maaf, Ustadzah. Kami berdua terlalu asik berbicara ketika ngantri mandi, sehingga kami berdua diselati oleh santri-santri lainnya yang ada di antrian sebelum kami. Maka dari itu kami berdua telat datang ke masjid kali ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Roman pour Adolescents"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...