Siapa yang tahu kalau hati seseorang ternyata berbeda-beda. Mungkin Fidza tidak pernah menyangka kalau Dea ternyata menyukai Gus Ramzi. Lebih tidak menyangkanya pula, Dea mengira diirnya dekat dengan Gus Ramzi dan suka kepada Gus Ramzi.
Fidza ingin tertawa saja rasanya.
Hari ini, langit Madura dipenuhi oleh mega-mega mendung yang membuat hawa terasa dingin. Tidak ada munculnya matahari sejak pagi tadi. Mungkin sang surya sudah lelah dengan pekerjannnya menyinari dunia. Wkwk, ngarang nih authornya.
Kedua mata Fidza menatap ke depan. Di mana di sana, terdapat sekumpulan santriwati yang saling belajar menghafal dan saling mendengar hafalan satu sama lain. Fidza ada di depan kamar asrama, duduk dikursi panjang yang tersedia.
"Ngapain?"
Shani datang dan duduk dipinggirnya. Kepala Fidza ditolehkan, namun hanya sekilas. Sepasang iris kecokelatannya kembali mengamati sekumpulan santriwati yang berada di depan sana. Di pinggir lapangan, yang saling bercerita.
"Nggak ngapa-ngapain. Cuman liatin snatriwati itu." Dagu Fidza diangkat menunjuk arah yang dimaksud. Shani hanya mengangguk. Lantas gados itu menyandarkan dirinya pada tembok asrama.
"Kangen bapak."
Shani menolehkan kepala. Gadis itu bisa melihat sepasang iris kecokelatan milik Fidza yang terdapat sirat kerinduan kepada sosok dambaan hidupnya. Shani menjadi saksinya, bagaimana Fidza dan bapaknya menjadi salah satu anak-bapak yang hubungannya terkadang membuat dirinya iri.
"Sabar aja, Fidz. Kirim fatihah ke bapak kamu, mungkin beliau udah bahagia di pangkuan-Nya," cetus Shani. Satu tangannya memegang bahu Fidza pelan.
Fidza mengembuskan napas. "Aku jadi keinget sama salah satu ucapan bapak yang palling aku suka," tuturnya.
Shani langsung menegakkan tubuh. Fidza menoleh, gadis itu terkekeh. Sedari dulu, Shani selalu suka mendengar dirinya berbicara ucapan atau nasihat dari bapaknya.
"Ceritain, Fidz," pinta Shani. Gadis itu terlihat antusias.
Fidza membasahi bibir bagian bawahnya. "Bapak kan seorang ojol ya. Terus kata bapak, hidup itu sama kayak lagi nyetir sepeda."
Kening Shani dikernyitkan di sini.
"Kedua mata kita harus fokus ke depan. Nggak usah toleh kanan-kiri meski terkadang di kanan-kiri kita ada sepeda motor yang jauh lebih mahal merk-nya dari pada punya kita. Fokus aja ke depan. Kaca spion yang ada di kedua sisi motor itu digunain buat ngelihat ke belakang buat jaga-jaga keamanan saat berkendara. Intinya tuh satu, fokus ke depan, fokus ke nyetirnya motor sendiri sampek ke tujuan," jelas Fidza panjang lebar.
Kepala Shani dianggukkan mengerti. Meski itu hanyalah sekadar antologi.
"Sama jugak kayak hidup." Jeda. "Ngejalani hidup itu, kita harus fokus ke depan. Meski di kanan-kiri terkadang ada godaan, terkadang ada manusia lain yang bikin iri, dengki, takabbur, kita jangan sampek tergoda untuk melihat ke kanan-kiri. Karena kalo kita ngeliat kanan-kiri, kita bakalan nggak fokus sama diri kita sendiri. Sepeda yang kita setir jadi nabrak atau bisa jadi masuk jurang. Jadinya kan nggak sampek ke tujuan," lanjut Fudza memaparkan.
Kedua mulut Shai berbentuk bulat denga kepala yang dianggukkan. "Terus antologinya spion itu?"
Fidza menipiskan bibir. "Gunain masa lalu sebagai pelajaran buat kita terus ngelangkah ke depan," jelas Fidza.
Kini Shani sepenuhnya paham. "Wahh gilak, sih. Bapak kamu itu emang panutan!" serunya.
Tepat setelah kalimat itu Shani ucapkan, kekehan Fidza terdengar beserta dengan gemuruh hujan yang mendesak turun di atas permukaan bumi. Fidza menatap ke depan, di mana ia bisa melihat santriwati yang tadinya sedang hafalan atau bercanda gurau, kini berlarian berteduh di bawah atap asrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
Novela Juvenil"Bapak tau nggak, kalo gede Fidza pengen jadi penghafal Al-Qur'an." Meski mengucapkannya di saat waktu kecil, keinginan itu terus menggelora di dalam jiwa Fidza. Rasa ingin melihat kedua orang tuanya di wisuda dan diparadakan menuju surga itu terus...