Bab 35 - Jakarta Akan Selalu Spesial

16 2 0
                                    

"Marwa harus bisa jaga ibuk, ya? Setelah Mbak Fidza berangkat ke Pondok, boleh, kan, Mbak titip ibu sama adik-adik ke kamu?"

Sepasang iris milik Fidza menatap jalanan raya yang ramai oleh lalu lintas kendaraan. Di sebelah mereka, terdapat sebuah dermaga yang indah. Cahaya matahari yang berwarna oranye memantul di atas airnya.

Fidza selalu mengatakan, Jakarta sangat berbeda dengan Madura. Di Jakarta, lalu lintas orang-orang terlihat sangat padat. Meskipun hari akan nenjelang petang, meskipun telah berkumandang suara adzan, Jakarta akan tetap dengan kesibukannya.

Dihiasi oleh gedung-gedung pencakar langit di kanan-kirinya. Mobil-mobil berkilauan yang terus melalu lintasinya. Penjual gerobak kaki empat ataupun kaki lima yang mencari nafkah ditepi jalan.

Fidza menghela napasnya. Sejujurnya, bagian dari Jakarta yang seperti ini juga ia rindukan.

"Iyaaa Mbak. Mbak Fidza jangan khawatir, insyaaallah Marwa bakalan bantu-bantu ibu jualan sate sama jualan basreng di sekolahan."

Marwa ada di sebelah Fidza. Gadis berumur 14 tahun itu memakai baju berwarna biru, dipadukan dengan rak berwarna hitam. Hijabnya berwarna biru tua. Di tangannya, terdapat sebuah rubik yang terus diotak-atik.

Fidza menganggukkan kepala. "Bagus, deh." Kedua matanya masih mengawasi Halwa, Salwa, dan Amar yang berjalan lebih dulu di depan.

Berada di rumah akan terus membuat Fidza teringat bapak. Karena besok Fidza harus kembali ke Madura, alhasil setelah ziarah ke makam bapak tadi, Fidza mengajak keempat adiknya untuk jalan-jalan menelusuri ramainya kota Jakarta.

"Mar, kamu harus belajar yang bener-bener, ya. Pegang terus ucapan-uacapannya bapak dulu. Kita sebagai perempuan harus terlihat lebih mahal. Kalo seandainya ada laki-laki yang ngedeketin kamu dan ngajak pacaran, kamu jangan mau, ya." Fidza menatap adiknya sekilas.

Marwa terdiam. "Iyaaa Mbak, pasti." Detik selanjutnya dia menjawab.

"Mbak tuh kecewa banget kalo liat orang-orang yang ngentengin soal agama. Kayak Shani contohnya," ujarnya.

"Mbak Shani? Yang sering main sama Mbak itu kan?" Kepala Marwa dimiringkan.

Fidza mengangguk. "Iyaaa. Pas aku mondok di sana, keesokannya aku ngelabrak dia yang lagi ketemuan sama pacarnya," cerita Fidza.

"Astaghfirullohal'adzim ... masak, sih, Mbak Shani kayak gitu?" Marwa sendiri tidak percaya, karena Shani dulunya adalah orang yang sebelas dua belas sama dengan Mbak-nya.

"Iyaa, beneran Shani itu. Aku nggak tau dia terpengaruh sama siapa sampe sesad kayak gitu jadinya. Tapi Mbak ngarepnya sih, Shani bisa segera sadar dan balik lagi ke jalan yang benar," lontar Fidza.

"Aamiim-aamiin." Sang adik hanya mengaminkan.

Sore hari akan menjadi waktu yang pas untuk jalan-jalan. Matahari di barat masih setengah akan tenggelam. Sebentar lagi, Fidza dan keempat adiknya akan sampai pada gang perumahan mereka.

"Tapi, Mbak sekarang punya temen baru, Mar. Namanya Vivi."

Kepala Marwa kembali ditolehkan. "Uwih, temen Marwa yang baru juga namanya Vivi, tuh. Bisa sama gitu ya," sahut sang adik.

Fidza terkekeh. Kedua bahunya dikedikkan ringan. "Nggak tahu juga, lah. Tapi, vivi temennya Mbak yang ini, dia tuh orangnya pinter sama keren banget, Mar. Mbak bisa dapet banyak motivasi dari dia," beritahu Fidza.

Marwa di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepala. Sepasang mata jelinya menatap jalanan Jakarta. "Bagus, deh. Aku jadi penasaran sama temennya Mbak itu. Keren juga bisa ngebuat Mbak kagum segitunya sama orang selain kagum sama ibuk bapak," lontarnya.

HafidzahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang