03: Dia itu montok, bukan gendut!

45.1K 1.8K 10
                                    

Hari ini Aruna memulai pekerjaan pertamanya dengan fokus dan penuh semangat. Para rekan kerjanya selalu membantunya jika Aruna merasa sedikit kesulitan karena masih seorang pemula. Aruna bersyukur karena memiliki rekan kerja yang sangat baik padanya. Meskipun baru mulai bekerja, Aruna sudah lumayan bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya karena di kelilingi oleh orang-orang yang begitu ramah tamah.

Saat matahari sudah berada di puncaknya, Selly menggeser kursi beroda miliknya ke dekat Aruna kemudian bersandar lesu di pundak empuk Aruna. "Na, beli makan siang bareng, yu?"

Jemari Buntet Aruna menari-nari di atas papan klip komputer, mendengar ajakan Selly, Aruna berhenti mengetik dan menoleh ke arah gadis di sebelahnya. "Ayo, aku juga udah laper."

Mata gadis itu yang semula redup kini kembali terang. "Legoo!!"

Mereka berdua bangkit berdiri dan akan pergi, Meylin dengan suara cempreng nya menghentikan mereka.

"Bentar! Aku mau nitip, boleh?"

Selly mendengus sebal, "Kenapa gak pergi sendiri aja sih, Mei? Punya kaki itu di gunain, bukan di anggurin."

"Males tau. udah ah, nih uangnya." Kata Meylin seraya menyodorkan uang seratus ribu pada Aruna dan Aruna hanya mengangguk saja lalu mengambilnya. "Aku mau nasi kuning mang Udin yang di depan gedung perusahaan, ya, makasih!"

"Eh!-" Selly menatap jengkel Meylin yang kembali duduk di kursinya sendiri dan pura-pura menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Aruna tersenyum tipis melihatnya.

Aruna menatap rekan kerja yang lainnya dan bertanya. "Kalian, ada yang mau nitip juga, gak? Sekalian, aku juga mau nasi kuning."

Juandra yang pertama kali menyahut dengan penuh semangat. "Aku juga mau nasi kuning! Hehe,"

Kinan masih setia dengan lesung pipinya. "Aku juga, Runa. Samain, Nasi kuning."

"Nasi kuning juga, ya!" Kata Jenar seraya mengeluarkan uang di dalam tasnya.

"Oke, uangnya pake uang aku aja dulu, nanti di ganti di sini." Kata Aruna menghentikan mereka yang akan mengeluarkan uang dan dia juga mengembalikan uang Meylin kembali dengan sopan. "Nih, Mei, nanti aja di ganti di sini uang aku nya."

"Iya deh kalo gitu." Meylin mengambil kembali uangnya dan tersenyum gemas pada Aruna. "Makasih ya, Nana ndut!"

Aruna tersenyum dan mengangguk.

"Jadi enam orang- eh, Alan, maaf, kamu mau nitip juga?.." Aruna menatap pria di sudut sana dengan tidak enak karena dirinya hampir melupakan Alan.

"Sama." Kata Alan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari layar komputer, Aruna mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Udah, ayo! Sialan juga sama nasi kuning." Serobot Selly tidak sabar dan langsung menarik Aruna meninggalkan ruang kerja ke tempat nasi kuning mang udin.

Pria di sudut itu mengutuk Selly di dalam hatinya karena panggilan 'Sialan' yang di berikan oleh gadis itu padanya.

Dengan keadaan masih bingung, Aruna pasrah di seret menuju pedagang nasi kuning di depan gedung kantor tempatnya bekerja.

Setengah jam kemudian keduanya kembali dengan kantong plastik di tangan kiri dan kanannya masing-masing. Mereka bersorak gembira menyambut makanan.

Ketujuh orang berbeda jenis kelamin itu menghabiskan makan siangnya bersama-sama. Alan juga di ajak-- di seret oleh Selly dan makan bersama membuat lingkaran di atas lantai. Hati Aruna menghangat karena mereka.

Mereka juga tidak menyadari jika di balik pintu kaca yang buram sebagiannya itu ada dua orang pria tengah memperhatikan ke dalam sana. Ralat, hanya satu orang yang mengintip ke dalam sana melalui pintu kaca itu, yang lainnya hanya bisa diam di belakangnya. Tatapan pria yang lebih tinggi terlihat rumit saat memandang mereka-- lebih tepatnya memperhatikan Aruna yang tengah memakan nasi hingga pipinya yang asalnya chubby menjadi semakin menggembung.

"Panggil dia ke ruangan saya." Titah Pria yang tinggi pada pria pendek di belakangnya.

Yang lebih pendek bingung. "Yang mana, Presdir?"

"Itu, yang itu!" Kata Presdir dengan tidak sabar seraya terus menatap ke dalam sana dengan mata berbinar-binar. jika tatapan Presdir bisa mengeluarkan peluru, mungkin kacanya sudah pecah.

Pria pendek tersebut menatap datar punggung Sang Presdir. Dia kemudian menarik Presdir menjauhi pintu kaca dan baru dia bisa melihat ke dalam. "Oh, Yang gendut itu? Dia karyawan baru di bawah bimbingan direktur keuangan kita."

"Saya tau. Kamu budeg, ya?" Tanya Presdir pada Asisten pendeknya itu. "Saya nyuruh kamu buat panggil dia ke ruangan saya, bukan ngejelasin tentang dia ke saya, Lang."

"Oh, hehe.."

Presdir kembali menyela dengan ekspresi tidak terima. "Juga, Dia itu montok, bukan gendut!"

Lang-- Gilang Demian menatap Presdirnya yang pergi setelah memarahinya karena memanggil wanita itu 'Gendut', padahal kan memang gendut. Juga yang dia panggil 'Gendut' itu kan wanita di dalam sana dan bukan Presdirnya, kenapa malah Presdir yang sensi? Ada apa dengan Presdir tampan dan cerdas yang biasanya ramah tamah selalu senyum sejuta Watt nya itu?

"Ah.." Desah Gilang setelah menyadari keanehan Presdirnya itu semenjak di lobi. Dia tersenyum lebar hingga gingsulnya terlihat dan menatap punggung tegap Presdirnya di kejauhan dengan intens. "Jadi begitu."

Dengan senyum miring yang tersungging samar, Gilang mengetuk pintu kaca di belakangnya dan kemudian masuk ke dalam.

"Permisi, semuanya. Maaf karena sudah mengganggu waktu makan siang kalian." Kata Gilang dengan sopan, bibirnya tersenyum lebar dan sedikit membuat ketujuh orang di dalam ruangan sana merinding.

Selly yang menjawab lebih dulu seraya membungkuk sedikit, "Tidak masalah, Asisten Presdir."

"Saya akan ke intinya saja," Gilang menatap Aruna dengan senyuman lebarnya yang aneh, sontak membuat Selly dan Jenar yang berada di sisi kiri-kanannya sedikit maju ke depan untuk menutupi Aruna.

Gilang berkata, "Kamu, karyawan baru, ikut saya ke ruangan Presdir. Ini perintah dari Presdir sendiri."

"Saya?" Tanya Aruna memastikan, Asisten pribadi Presdir itu mengangguk cepat.

Bibir Aruna terbuka dan membeo tidak mengerti. "Tapi kenapa?"

Gilang masih tersenyum lebar dan Aruna khawatir jika bibir kecil pria itu akan sobek karena senyuman yang terlalu lebar dan terlalu bersemangat. Bahkan Aruna bisa melihat matanya yang bling-bling bersinar terang, mengalahkan lampu neon 30 Watt di teras rumahnya.

"Tapi pekerjaan say- Eh!" Aruna tersentak kaget saat Gilang tiba-tiba menarik lengannya dan kemudian membawanya pergi meninggalkan ruangan itu setelah berkata dengan bibir yang masih tersenyum lebar.

"Jangan banyak tanya, saya bukan narasumber."

Keenam orang di ruangan sana hanya bisa melongo seperti orang bodoh memandangi Aruna yang tengah di seret dan Gilang yang tengah menyeret.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang