Ini hari Minggu, siang hari yang cerah dengan hawa dingin yang menyelimuti pinggiran kota ibukota Swedia itu. Para mahasiswa tengah bersantai di kamarnya masing-masing, berbeda halnya dengan empat orang laki-laki remaja di dalam rumah poles biru muda yang tidak terlalu besar itu.
"Bunda?" Rafaizan melongok kan kepalanya di balik pintu kamar Aruna, mencari keberadaan Sang ibu yang dia panggil dari tadi tapi tidak menyahuti sama sekali.
"Bunda kemana, ya?" Tanyanya pada diri sendiri, dia akan menarik kembali kepalanya tapi sebuah tampolan di pantatnya membuat Rafaizan terjeramah ke dalam kamar Aruna dan nyungsep dengan tidak estetiknya.
"ADUH!!" Rafaizan memekik keras karena jidat paripurnanya sudah berhasil mencium lantai marmer, suara tawa di belakangnya membuat laki-laki itu kesal.
"Ahahha, Abang kenapa tidulan di lantai?"
Pertanyaan dari bocah cadel itu membuatnya gemas ingin melelang adik bontotnya itu detik ini juga. Rafaizan bangkit dan menghampiri Ravindra yang sudah bersembunyi di balik tubuh Rezvan dan Ravinka.
"Awas, Rez, itu bocah cadel harus di kasih paham sekali-kali!"
Ravindra melotot tidak terima. "Enak aja! Lavi gak cadel, ya!"
"Terus kalo gak cadel apa? Gak bisa nyebut huruf R?" Sahut Ravinka mengejeknya.
Dua Abangnya itu sama saja, suka sekali mengatainya cadel. Hanya Abang Rerez saja yang-
"Abang Rere-"
"Diam." Kata Rezvan kejam.
Ketiga Abangnya itu sama saja! Ravindra ingin sekali menjual para Abangnya itu ke pelelangan ikan.
"Bunda ada di kamar?" Rezvan angkat bicara sebelum adik dan kedua Abangnya memulai keributan. Rafaizan yang ingin beradu jotos dengan adik bontotnya pun tidak jadi dan menggeleng memberikan jawaban.
"Gak ada. Apa mungkin pergi belanja? Tapi kenapa gak ngajak kita, ya?" Rafaizan menatap sekeliling kamar Aruna, tatapannya tertuju pada sebuah ponsel asing yang mengintip di bawah tumpukan buku di atas nakas Sang ibu.
Mereka memandang penasaran Abang tertua mereka yang berjalan menuju nakas samping tempat tidur Aruna. Rafaizan mengambil ponsel tersebut dan memperlihatkannya pada ketiga adiknya berekspresi sama dengannya, bingung dna penasaran.
"Ini.. handphone siapa? Punya bunda kan di belakang penutupnya ada foto kita waktu bayi. Ini mah gak ada." Ujar Ravinka, "Ini juga keliatannya handphone lama? Modelnya udah sedikit jadul."
Yang di angguki oleh mereka.
Rafaizan menekan sekilas tombol power ponsel tersebut, tapi layar ponselnya tetap hitam. "Gak nyala? Apa udah rusak?"
"Mungkin kehabisan daya." Kata Rezvan tanpa ekspresi. Dari ketiga saudaranya, Rezvan terkesan sangat pendiam dan datar. Tapi mudah tersipu jika di puji, apalagi jika yang memujinya adalah Sang ibu.
Rezvan itu berbanding terbalik dengan ketiga saudara-saudaranya. Rafaizan memiliki kepribadian yang terbilang cukup santai dan sedikit tengil. Ravinka yang menyebalkan dan mesum, tapi boyfriend able sekali. Ravindra si anak bontot yang cengeng dan cenderung cerewet, banyak tingkah, tidak bisa diam, seperti monyet gadungan, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa adik bontot mereka itu sangat amat menggemaskan.
Banyak sekali perbedaan mereka, tapi mereka tetap sama. Wajah mereka sama, wajah yang selalu membuat Aruna teringat pada seseorang yang ingin sekali Aruna lupakan.
Yang membedakan rupa mereka adalah tahi lalatnya. Rafaizan memiliki tahi lalat kecil di daun telinga kirinya dan Ravinka di daun telinga kanannya. Rezvan memiliki tahi lalat kecil di ujung mata kanannya dan Ravindra di ujung mata kirinya.
"Coba hidupin handphone nya, Lavi penasalan, deh."
"Tapi nanti kalo bunda marah gimana? Kita udah lancang gini masuk kamar Bunda tanpa ijin, mana kepoin barang-barangnya lagi." Kata Ravinka merasa tidak enak, dia takut Aruna marah pada mereka jika mereka ketahuan di sini.
"Udah, gak pa-pa, cuma sebental. Lagian kan Bunda kayanya lagi pelgi?" Kata Ravindra dengan lidah cadelnya.
Rafaizan mengangguk karena dirinya juga penasaran, dia menekan tombol power nya lama dan ponsel itu hidup. Merek HUAWEI terbentang jelas di layar tersebut sejenak dan kejutan.
Wallpaper ponselnya adalah foto Aruna yang mengenakan hiasan pengantin dan seorang pria tampan di sampingnya yang tengah mencium pipi tembem Bunda mereka.
Hening, tidak ada yang bersuara selama beberapa menit. Mereka mengernyitkan dahinya masing-masing dengan bingung dan rasa ingin tahu.
"Siapa pria itu?"
Sebuah tangan Buntet meraih ponsel di genggaman tangan Rafaizan dengan cepat dan langsung melemparkannya ke lantai marmer dengan keras hingga ponsel tersebut pecah terbagi dua.
Suara 'PRANG' terdengar sangat nyaring di kamar tersebut.
• • • •
"Bingo!"
Bibir merah alami itu tersenyum lebar begitu menakutkan, tatapannya yang kelam terlihat kembali bercahaya Karena sebuah harapan di dalam layar laptop di depannya. Ekspresinya terlihat seperti orang tidak waras yang menemukan kembali sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Apa yang dia cari-cari sudah terlihat, Lokasinya kembali muncul.
Swedia, Stockholm-ostermalm. Rumah sederhana berwarna biru muda. Di dekat sungai Klar dalam bahasa Swedia, Jernih dalam bahasa Indonesia.
Jemari tangan besar itu dengan cepat menyalin lokasi tersebut dan menyimpannya di dalam file penting, lokasi tadi kembali menghilang tidak lama setelah dia menyalinnya. Untung saja.
Iris cokelat gelap itu menatap penuh kasih pada salinan lokasi tempat istrinya berdiam diri selama sembilan belas tahun ini. Bibirnya masih tersenyum lebar menyeramkan.
Sedikit keriput di wajahnya tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun, malah itu membuatnya semakin menawan.
"Ternyata kamu bersembunyi di sana selama ini .. My Wife."
Bisik Vir penuh kasih dan obsesi mendalam yang kelam. Matanya berkilat bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]
Fanfic[SUDAH TERBIT E-BOOK, TERSEDIA DI GOOGLE PLAY STORE DAN PLAYBOOK] Namanya Aruna Cielo, yang kerap di panggil 'Gemoi' oleh ibunya karena tubuhnya yang montok dan juga kenyal jika di cubit. Aruna niatnya sih mau kerja dengan tekun di tempatnya bekerj...