35: Maaf.. 𝘏𝘪𝘬𝘴,

23.8K 774 12
                                    

Karena kebrutalan Vir semalam Aruna bangun dari tidur atau lebih tepat disebut pingsan saat langit sudah berwarna jingga, Aruna menoleh ke samping tempat tidurnya dan tidak melihat Vir di sana. Wanita montok itu bangkit dari tidurnya dan merasakan sedikit rasa perih serta sakit di bagian bawahnya. Tidak, seluruh tubuhnya sangat ngilu, terutama bagian pinggang dan vaginanya.

Aruna merasa tubuhnya lebih segar dan tidak lengket, sepertinya Vir sudah membersihkan tubuh Aruna karena pakainya sudah terpasang sempurna di tubuh montoknya itu. Kaos merah muda polos lengan panjang dan celana pendek warna hitam sebatas paha.

Bekas kiss mark di paha hingga lutut Aruna terlihat jelas karena celananya yang pendek itu, Aruna mendengus sebal karena malu. Vir benar-benar cabul.

Dan pria cabul itu sekarang sudah menjadi suaminya.

Aruna bergerak untuk turun dari tempat tidur tapi tidak jadi karena rasa sakit di bagian bawahnya menyengat saat dia menggerakkan kedua kakinya. Suara perut keroncongan milik Aruna terdengar pilu. Dirinya belum makan dari pagi karena pingsan, tapi Vir menyiksanya hingga tidak bisa berjalan seperti ini.

Kemana perginya juga pelaku yang membuatnya seperti ini sekarang?

"Sshh.. perih banget," Aruna memaksakan diri sendiri untuk bangkit dan berjalan ke arah pintu kamar yang terasa sangat jauh jika keadaannya seperti ini. Menyebalkan memang. Kenapa juga kamar Vir harus sebesar dan seluas ini? Bahkan kamar Aruna saja mungkin hanya seluas tempat tidurnya saja.

Ini kamar Vir, lebih tepatnya kamar mereka berdua karena ini adalah rumah baru yang di bangun oleh Vir dua tahun lalu dan baru selesai semuanya dua Minggu lalu. Pas sekali perkiraan Vir itu. Kamar ini sangat luas dengan kasur king size di dalamnya, ada dua pintu hitam yang bersebelahan dan satu pintu cokelat di dekat lemari kecil tempat hiasan seperti pigura foto mereka dan lainnya, lalu ada nakas sedang di kedua sisi tempat tidur yang di atasnya terdapat lampu tidur berbentuk bulat. Di arah kanan tempat tidur ada jendela besar yang menyorot langsung ke kolam renang samping rumah yang memantulkan cahaya jingga kekuningan.

Juga ada set meja rias yang sudah diisi oleh beberapa alat makeup di dekat jendela dan dua sofa kecil di sudut ruangan sana.

Aruna menoleh ke belakang dan bibirnya tidak bisa untuk tidak tersenyum senang. Di sana, di atas kepala tempat tidur tertempel pigura foto yang sangat besar, foto dirinya dan Vir saat pernikahan kemarin terdapat di dalamnya.

Semalam dirinya tidak melihat foto tersebut di sana, tapi sekarang sudah ada. Sepertinya itu baru di pasang hari ini saat dirinya pingsan. Vir menggantung foto itu dengan sangat hati-hati dan penuh effort karena takut menginjak rambut Aruna dan berakhir mengganggu istrinya yang tengah tertidur lelap itu.

Saat tengah senyum-senyum sendiri Aruna merasakan rasa sakit yang sangat benar-benar menyakitkan di tubuh bagian bawahnya. Aruna berhenti berjuang melangkah dan berpegang pada lemari kecil dekat pintu warna coklat, dia memegangi pinggulnya dan meringis ngilu.

Kenikmatan semalam benar-benar seperti delusi, rasa sakit yang sekarang adalah asli. Dia menunduk menahan sakit menusuk yang perih di selangkangannya, matanya menangkap cairan merah yang mengalir di kedua kakinya yang sedikit gemetar. Pantas saja begitu menyakitkan, itunya ternyata berdarah.

Dia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan untuk tidak panik, Aruna menarik laci lemari kecil di sampingnya berharap bisa menemukan sekotak tisu. Tapi nihil, tidak ada tisu, yang ada hanya berbungkus-bungkus kotak pengaman ak.a kondom.

Aruna speechless, dia mendorong kembali laci-laci itu hingga tertutup. Benar-benar pria yang cabul.

Tapi alat pengaman sebanyak itu, kenapa semalam Vir tidak menggunakannya?

Bibirnya meringis karena rasa sakit tersebut, dia mencoba berjalan ke arah pintu hitam yang mungkin salah satunya adalah kamar mandi. Cairan merah itu sudah menyentuh lantai marmer putih di bawahnya dan meninggalkan jejak bulat kecil di sana. Aruna berjalan dengan bantuan dinding dan apapun yang berada di dekatnya, saat akan mencapai pintu hitam tersebut dirinya terjatuh karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit di atas sana.

"Sakit banget.. Vir,"

Pintu cokelat di belakangnya terbuka dan Vir masuk ke dalam dengan nampan berisi makanan serta minuman di atasnya, bibirnya tersenyum cerah menatap nampan berisi makanan itu dan bergumam senang belum menyadari keadaan Aruna.

Vir memandang ke arah tempat tidur dan berkerut kening karena tidak menemukan keberadaan Aruna di atas sana. Matanya mencari ke sekeliling dan membulat saat melihat istrinya itu duduk bersimpuh di atas lantai dingin, di letakkan nampan itu dengan asal di atas nakas dan langsung berlari ke arah Aruna.

"Sayang! Kamu kenapa?!" Vir menerjang Aruna dengan panik, tangannya memegangi pundak Aruna dan tatapnya terlihat sangat cemas.

"Vir.. tolong, tolong bantu aku ke kamar mandi.. bisa?" Kata Aruna lirih, bibirnya yang semula merah itu kini terlihat sedikit pucat karena menahan rasa sakit. Telapak tangannya menumpu di atas lantai menahan beban tubuhnya.

Vir sedikit terkejut saat Aruna memanggilnya dengan namanya langsung, dia jadi semakin cemas.

"Tentu saja Bisa, tapi kamu kenap--" Perkataan Vir terhenti saat matanya menangkap jejak darah di belakang Aruna, kepanikan itu semakin menjadi-jadi. "Ya ampun, Sayang! Darah!"

Vir juga ikut memucat karena melihat darah itu, seperti dirinya baru pertama kali melihatnya. Padahal mah sudah ribuan kali dia melihat darah. Tapi entah mengapa saat ini Vir merasa sangat ketakutan melihat darah yang berasal dari orang tercintanya.

Dia langsung mengangkat tubuh Aruna gaya pengantin dan membawanya ke atas tempat tidur, Vir membaringkan tubuhnya dengan perlahan di atas kasur berlapis seprai putih itu. Warna merah merembes menodai warna putih seprai. Aruna merasa tidak nyaman karena mengotori seprai tapi rasa sakit mengalahkan rasa tidak nyamannya.

"Sakit banget.. Vir," Ujarnya lemah, wajah pucatnya berkeringat dingin. Vir mencoba tenang dan menelpon dokter pribadinya untuk segera datang ke sini.

"Sayang, Sayang.. lihat aku, dokter akan segera tiba.. kamu, kamu akan baik-baik saja." Vir panik tapi dirinya tidak bisa menambahkan ketakutan pada istrinya yang tengah kesakitan mungkin karenanya. Mata Vir terlihat berkaca-kaca karena takut terjadi apa-apa dengan Istrinya dan merasa bersalah juga.

"Maafkan saya.. saya terlalu kasar semalam, maaf, maaf.. Sayang. Maaf.. hiks," Air mata yang terbendung itu akhirnya bocor juga, Aruna yang kesakitan pun tidak tahu harus tertawa atau menangis melihatnya.

Ini sebenarnya yang merasa sakit itu Aruna atau Vir?

Aruna yang sakit tapi Vir yang menangis.

Tapi di lihat-lihat, Vir lucu juga jika sedang menangis. Bibir Aruna yang pucat melengkung membentuk senyuman samar.

"Jangan nangis.. Sayang,"

'Aku yang harusnya nangis..' Batin Aruna melanjutkan dengan miris.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang