S2|53: Lorong to neraka, Tangga to kematian.

11.8K 575 50
                                    

"Berhenti tertawa, ayo kita cepat turun. Kalian ingin Bunda kalian di apa-apain oleh dia?" Decak Reylan karena telinganya merasa panas terus di tertawakan oleh ketiga keponakan nakalnya itu.

Rezvan melompat lebih dulu ke bawah dan berdiri dengan tegak di sana, mendongak menatap Reylan dan yang lainnya. "Lambat."

"Sombong amat!" Rafaizan mendengus dan kemudian melompat, mendarat di sisi adik introvert nya itu.

Yang lainnya juga ikut melompat, kini tinggal Reylan yang masih di atas sana. Rafaizan dengan wajah tengilnya mengejek Reylan. "Awas pinggangnya encok, Om!"

"Iya, Om! Nanti gak bisa na-ena lagi sama Aunty!" Ravinka dengan pikiran mesumnya yang tidak pernah ketinggalan.

Ravindra sudah tertawa terpingkal-pingkal di bawah sana. Rezvan tetap dengan wajah tanpa ekspresinya, namun terlihat setuju dengan perkataan saudara-saudaranya yang lain.

Reylan menatap kesal para bocah tengik di bawah sana, menurun dari siapa sifat mereka itu? Perasaan Aruna sangat lembut dan penuh kasih sayang. Kenapa anak-anaknya malah seperti monyet ragunan dan patung es?

Ah, dirinya lupa jika di dalam tubuh mereka terdapat darah predator yang mengalir.

Dengan sebal, Reylan melompat dan berlagak sok keren. Dia berdiri dengan wajah angkuh dan mulai berjalan dengan sedikit pincang.

Ketiga keponakan setannya tertawa kembali dan menyusulnya, membantunya berjalan dengan benar. Bukan salah Reylan yang terlalu tua, salah tembok itu yang terlalu tinggi.

Seberapa tengik dan menyebalkan nya mereka, mereka tetap sangat menyayangi Om-nya yang sudah mereka anggap sebagai ayahnya sendiri selama bertahun-tahun ini. Reylan adalah orang ketiga setelah Rini yang mereka sayangi.

Keduanya berjalan, mengendap-endap, berlari, salto sana salto sini, hingga masuk ke dalam rumah itu dengan membobol jendelanya. Mereka pantas diberi gelar 'Para perampok handal'.

"Wah, mewah juga rumahnya. Nyesel banget gue gak bawa tas." Bisik Ravinka seraya menatap ke sekelilingnya, ada banyak guci, pot bunga, serta beberapa pajangan lainnya yang terbuat dari batu Giok. Dia jalan ke arah salah satu guci warna hijau yang terletak di atas meja kayu, menyentuh dan mengelusnya. "Mahal nih kayanya."

"Mau ngapain lo, Av?" Tanya Rafaizan curiga, adiknya yang satu itu kan mata duitan sama berjiwa miskin padahal pakaian yang dia pakai itu berharga jutaan.

Bocah Aneh memang.

"Mau sekalian ngerampok aja, Bang." Balas Ravinka dengan masih menatap kagum guci giok itu. "Lumayan buat ngidupin istri sama anak nanti."

Rezvan menggeleng melihatnya dan berjalan menghampiri Reylan di depan sana. "Om,"

"Kenapa, Rez?" Jawab Reylan dengan masih menatap sekelilingnya waspada.

"Bang Avin, Om."

Reylan menoleh ke arah Rezvan lalu menoleh ke belakang, di sana ada Ravinka dan dua bocah absurd lainnya tengah memasukkan barang-barang berharga di atas meja ke dalam kantong kresek berwarna merah. Entah dari mana mereka mendapatkan kantor kresek itu.

Menghela nafas, Reylan menepuk keningnya lelah. Resign saja lah dirinya jadi Om.

Dia menghampiri mereka dan kemudian menyeret ketiganya meninggalkan kantong kresek dan barang-barangnya di belakang sana. Ravinka dengan dramatis mencoba menggapai-gapai kantong kresek berisi harta itu.

Setelah menjewer telinga dan menampar pantat mereka bertiga sebagai hukuman, mereka berlima lanjut berjalan untuk mencari ruangan tempat Aruna di sekap oleh suaminya sendiri. Kelimanya menemukan tangga yang berbentuk seperti ular melingkar membelit ke atas sana, mereka mulai menaiki anak tangga.

Dari luar rumah ini memang terlihat seperti bertingkat-tingkat karena tingginya yang lumayan tinggi sekali, tapi ternyata rumah ini hanya dua tingkat saja. Yang membuatnya terlihat tinggi itu karena tangga ini yang begitu sengaja di buat setinggi mungkin. Saat mencapai lantai atas, keringat membasahi tubuh mereka.

Kedua kaki Reylan yang sudah tua sedikit bergetar saat mencapai anak tangga terakhir. Vir itu memang tidak manusiawi, mana ada orang yang membuat tangga di rumahnya sendiri seperti tangga menuju kematian.

Tidak waras memang.

"Gue sewa juga si adudu buat ngancurin nih tangga iblis." Rutuk Rafaizan kesal dengan menampar besi pegangan tangga, kakinya serasa mau copot karena Menaiki anak tangga yang totalnya entah berapa. Sangat banyak.

"Aduh, kaki Lavi pegel banget!" Ravindra berpegangan pada dinding di sampingnya dengan kulit wajah yang sudah memerah karena keringat dan lelah.

Reylan juga merasa lelah, dirinya sedikit bingung dengan perubahan tangga itu. Perasaan dulu tangganya tidak setinggi dan sebanyak ini, kenapa sekarang jadi seperti ini? Mungkinkah Adik ipar iblisnya itu melakukan renovasi dengan rumah ini? Jika iya, benar-benar iblis berwajah malaikat.

Dia bahkan ingin menyiksa Kakak ipar dan anak-anak kandungnya sendiri.

"Sudah, ayo cepat. Lorong di depan kita lebih panjang daripada anak tangga ini sepertinya." Rezvan mengangguk mendengar perkataan Reylan.

"Lolong menuju nelaka sih ini." Celetuk Ravindra seraya berkacak pinggang dengan wajah merah karena gerah, dia membuang nafas panjang mempersiapkan kedua kakinya lagi.

Mereka berlima kembali berjalan di lorong rumah, sisi kiri-kanan terdapat beberapa hiasan dinding berupa foto-foto pernikahan kedua orang tua mereka serta foto-foto Aruna dan Vir lainnya. Ada juga pajangan-pajangan di atas meja panjang seperti pot tanaman kaktus, logam-logam berbentuk abstrak, patung-patung berbentuk hewan imut dan pajangan lainnya.

Rezvan berkata saat melihat wajah Sang ibu di dalam foto pernikahannya yang tertempel di dinding. "Cantik."

"Memang, Bunda kalian memang cantik dari dulu." Reylan dan Rezvan berjalan bersisian, jadi Reylan bisa mendengar apapun yang di katakan oleh keponakannya itu meskipun suaranya pelan.

Tiga lainnya berjalan selangkah di belakang mereka dengan tingkah absurd nya masing-masing. Reylan sudah bodo amat melihat tingkah mereka, lagipula ini kan rumah Ayahnya keempat bocah kembar itu. Jika ada yang rusak atau hilang, bodo amat. Reylan tidak akan tanggung jawab.

Lalu tatapan Rezvan melirik sekilas foto gambar Vir. "Jelek, merusak pemandangan."

Reylan setuju dengan keponakannya itu. Kenapa Aruna bisa mencintai sosok jelek seperti Vir? Padahal banyak sekali dulu pria di luar sana yang lebih baik dan menariknya dari pada Vir. Cinta memang sebuta itu yah.

Hilih, kaya lu sama Veronica kagak aja.

Jika di lihat-lihat, rumah ini di dominasi oleh warna putih dan hijau mint. Warna-warna yang sangat lembut dan menenangkan diri, tapi kenapa pemilik rumahnya malah mengguncangkan jiwa dan raga mereka?

Mereka memeriksa setiap pintu di lantai ini, totalnya ada sembilan pintu yang mereka sudah periksa semua. Lima di antaranya adalah kamar kosong, satu ruangan gym, satu ruang kerja, satu bioskop minimalis, dan satu ruangan perpustakaan minimalis khusus membaca dan bersantai.

Jika di pikir-pikir, rumah ini juga terlalu sepi senyap. Yang anehnya tidak membuat mereka merasa khawatir ataupun was-was lagi. Ini perasaan damai yang benar-benar damai, seolah mereka ke sini bukan untuk menemukan Aruna tapi untuk menemukan dan merasakan ketenangan ini. Mereka merasa aneh tapi mengabaikannya.

Kini tinggal pintu terakhir yang berdekatan dengan teras balkon lantai dua ini. Reylan mendekat dan akan membuka kenop pintu namun tidak jadi saat mendengar percakapan di balik pintu ini.

"Itu tidak benar, kamu sudah salah paham selama ini, Sayang."

"Yang aku butuhin itu bukti, bukan cuma gigi."

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang