S2|45: Kemarahan Sang Bunda.

11K 616 0
                                    

PRANGG!!

Ponsel tersebut pecah menjadi dua bagian di atas lantai marmer sana, kejadian itu begitu tiba-tiba, sangat secepat kilat. Keempat laki-laki kembar itu diam membeku karena rasa takut dan syok.

"Apa yang kalian lakuin?" Pertanyaan itu sangat pelan, suaranya terdengar bergetar menahan diri agar tidak berteriak dengan emosi meluap-luap.

Mereka berempat menunduk dalam karena takut, tidak berani menatap ataupun bersuara pada Sang ibu. Mereka tidak seharusnya menyentuh barang-barang Aruna tadi, mereka tidak seharusnya selancang ini. Mereka salah, mereka bodoh.

Penyesalan memang selalu datang di akhir.

"APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN?!!" Akhirnya kemarahan itu tidak bisa Aruna kendalikan sendiri, mata merahnya menatap tajam kearah keempat anaknya yang diam menunduk takut.

Keempat laki-laki yang tubuhnya lebih tinggi dari Aruna itu hanya bisa menunduk takut saat mendengar bentakan keras dari Sang ibu. Aruna benar-benar marah padanya.

Ini adalah kemarahan kedua yang Aruna tampilkan pada mereka, kemarahan ini lebih parah dari kemarahan yang dulu.

Dulu saat Si kembar berumur delapan tahun, Aruna juga pernah memarahi mereka. Kemarahan itu di sebabkan oleh keempat anaknya yang kabur diam-diam dari rumah dan pergi ke pusat kota hingga Rezvan tertabrak mobil dan di rawat di rumah sakit selama dua minggu lamanya.

Saat itu Aruna juga marah pada mereka, tapi kemarahannya jauh berbeda dengan saat ini. Dulu Aruna hanya marah dengan menghukum mereka menghadap dinding dan mendiamkan mereka beberapa jam, Karena itulah mereka menjadi begitu patuh dan sangat menyayangi Sang ibu, karena takut bundanya marah dan mendiamkan mereka lagi.

Kemarahan itu .. tidak sampai membentak mereka seperti saat ini.

Apa kesalahan mereka benar-benar sudah sangat fatal? ..

Mereka sangat menyesal sekarang.

Suara gigi yang terkatup terdengar ngilu, keempat laki-laki di sana menunduk dengan nyali yang menciut saat merasakan luapan amarah Aruna. Keempat pasang kaki jenjang itu sedikit gemetar karena rasa takut.

Jika ada yang bertanya apa ketakutan terbesar mereka, maka jawabannya adalah kemarahan Sang Bunda. Dan apa ketakutan terbesar kedua mereka, maka jawabannya adalah kehilangan Sang Bunda.

"Keluar."

"Bund-"

"KELUAR SAYA BILANG!!" Bentakan itu kembali mengenai hati rapuh mereka.

"Hiks.." Ravindra itu memang sangat cengeng.

Rafaizan menarik ketiga adiknya terutama Ravindra yang sudah menangis untuk pergi dari kamar Aruna, membiarkan bundanya waktu sendirian untuk sementara. Mereka ingin meminta maaf, tapi Aruna sedang marah besar. Mereka tidak ingin menambahkan minyak ke dalam api.

Pintu tertutup di belakangnya.

Aruna jatuh bersimpuh di atas lantai marmer yang dingin, pecahan ponsel berada jauh di sampingnya. Tangan Buntet itu menutupi wajahnya yang begitu kacau karena emosi. Rambut hitam bergelombangnya menjuntai di kedua sisi wajahnya saat dia menunduk.

Dia mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk meredakan amarahnya, Aruna mengusak rambutnya ke belakang dengan kasar. Aruna sudah gagal untuk mengendalikan amarahnya lagi.

Aruna bangkit dan duduk di pinggiran tempat tidur, matanya melirik ke arah pecah ponsel itu lalu ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Aruna memejamkan matanya dan menghela nafas panjang.

Hatinya merasa bersalah tapi juga masih marah.

Dirinya tidak bisa mengabaikan anak-anaknya tapi dirinya juga harus bersikap tegas sebagai seorang ibu. Anak-anaknya itu memang suatu saat pasti akan mengetahui segalanya, tapi dada Aruna masih sangat sakit untuk saat ini.

Kenangan indah dan kenangan menyakitkan itu kembali menelusup masuk ke dalam kepalanya. Aruna benci mengingat kembali masa lalu. Dia benci, dia benci, dia benci.

Tapi dirinya tidak bisa membencinya, melupakannya.

Itu yang paling Aruna benci.

• • • •

Hari berlalu ke hari berikutnya, selama lima hari ini Aruna mendiamkan keempat anak-anaknya untuk memberikan sedikit pelajaran perihal kejadian ponsel itu. Rumah itu menjadi begitu sunyi selama lima hari ini.

Tapi Aruna tetap membuatkan sarapan setiap pagi, lalu pergi pagi-pagi sekali ke toko bunganya. Aruna selalu membelikan makanan siang untuk mereka melewati delivery karena dirinya selalu pulang sedikit petang demi membuat mereka kapok.

Dan benar saja, saat selesai makan malam dengan sunyi senyap, keempat anak-anaknya itu berlutut di depannya dengan wajah yang memerah karena menangis.

"Rafa salah, Bunda ... Maaf," Rafaizan menunduk menahan isak tangisnya. Dirinya adalah seorang Abang, terlalu memalukan untuk menangis di hadapan adik-adiknya. "Hiks.."

Tapi, di diamkan oleh Bundanya itu terlalu menyesakkan.

"Bunda Hiks, maafin Lavi Hiks.. Lavi yang udah nyuruh Abang buat hiks hidupin handphone nya. Lavi yang salah," Putra bungsunya itu memeluk erat kedua kaki Aruna, menangis keras di bawahnya.

Ravinka menatap Aruna dengan air mata yang membasahi pipinya, "Maaf bunda.. Avin, kita- kita gak akan lagi kaya gitu.. Hiks, janji.."

Sedangkan Putra ketiganya yang pendiam itu hanya menunduk ke bawah dengan kedua bahu bergetar hebat. Rezvan menangis tanpa bersuara.

Aruna diam dengan wajah datar tanpa ekspresinya.

Melihat anak-anaknya yang menangis begitu di bawahnya, wajah memerah dan air mata yang membasahinya, itu benar-benar menggemaskan ah!

Pecah sudah topeng dingin Aruna, dia dengan cepat menarik anak-anaknya itu kedalam pelukan hangatnya. Rezvan yang menangis dalam diam itu kini jadi ikut menangis keras seperti saudara-saudaranya yang lain karena Aruna yang memeluknya.

"HIKSS, BUNDAAA..." Kira-kira seperti itulah tangisan keempat anaknya itu. Benar-benar menggemaskan, ah!

"Iya, iya, Bunda maafin kaliann. Nangis yang kenceng, kalian lucu banget!" Gemasnya.

Si Montok Milik Presdir [END-SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang