16: Sederhana tapi bahagia.

20.5K 877 17
                                    

Tepat pada pukul empat sore Aruna menyelesaikan pekerjaannya yang menghitung angka pengeluaran dan pemasukan perusahaan. Lumayan ruwet juga kepala Aruna, dia membuang nafas panjang dan kemudian mematikan komputernya.

Ketujuh orang itu bangkit dan akan segera pulang.

Mereka keluar dari ruangan itu begitupun Aruna, tapi Aruna tetap diam di luar pintu saat Selly dan yang lainnya berjalan pergi. Jenar menyadari jika Aruna tidak ikut berjalan, dia menoleh dan melihat Aruna yang masih berdiri diam di luar pintu.

"Runa, ada apa?" Tanya Jenar.

Yang lainnya juga ikut menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, Selly juga bertanya. "Na, kamu kenapa masih diem di situ? Ayo pulang?"

Mereka memperhatikan Aruna yang terlihat gugup.

"... Itu, aku ada urusan dulu sama.. Asisten Presdir, ya, Asisten Presdir." Kata Aruna tidak sepenuhnya berbohong, memang benar, di mana ada Presdir pasti akan ada Asisten Presdir di sampingnya. Aruna tersenyum meyakinkan mereka.

"Oh, ya udah. Hati-hati nanti pulangnya kalo gitu." Ujar Jenar lalu dia lanjut berjalan, diikuti oleh yang lainnya.

"Hati-hati ya, Naa, babay." Kata Selly riang.

Yang lainnya hanya melambaikan tangan ke atas, tanda berpamitan dengan Aruna.

Aruna masih terlihat gugup dan cemas, Alan masih berdiri diam di depan sana dan masih menatap Aruna datar. Seperti tidak percaya pada alasannya barusan.

"Kamu duluan aja, Al, aku gak pa-pa." Kata Aruna Tenang, mencoba meyakinkan Alan.

Beberapa menit kemudian Alan berbalik dan lanjut berjalan pergi, menghilang di balik pengkolan koridor. Mereka sudah pergi, Aruna akhirnya menghela nafas lega.

"Liatin apa?"

Suara itu tepat di samping telinga kirinya, sontak membuat Aruna kaget hingga reflek menabok wajah Vir menggunakan punggung tangannya.

Vir meringis Seraya menutupi wajahnya yang merah dan lumayan perih menggunakan tangan.

Tabokan Aruna tidak main-main, men.

Aruna berbalik dan terkejut, dia tercengang juga kelabakan saat melihat Vir yang kesakitan akibat tamparannya yang reflek. "Ya ampun, ya ampun! Pak Pres, maaf, maaf! Saya tidak sengaja, Pak!"

Dia langsung menggapai wajah Vir yang merah dan mengusap-usapnya pelan. Aruna terlihat sangat merasa bersalah dan cemas.

"Lagian Anda, sih! Kenapa harus ngagetin saya, coba?" Omel Aruna kesal juga karena Vir yang begitu suka sekali mengagetkannya. Bagaimana jika Aruna memiliki penyakit jantung? Bisa langsung mati di tempat dia.

Tapi Aruna tetap mengusap wajah Vir dengan lembut, ekspresi wajah cemas dan rasa bersalahnya tercetak jelas di wajah Aruna.

Vir hanya diam menerima omelan dan usapan di wajahnya oleh Aruna, sepenuhnya menikmati kesempitan di dalam kesempatan ini.

"Ini sebelah sini sakit, harus di cium." Vir menunjuk bibirnya sendiri sembari menatap Aruna penuh harap. Aruna yang menyadari jika dirinya di bodohi tentu saja langsung menarik kembali tangannya dan menatap jengkel Vir yang tengah tersenyum lebar.

Untung ganteng.

Aruna berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Vir di belakang, Vir terkekeh geli dan kemudian menyusul Sang kekasih.

Kekasih Ceunah.

"Maaf, Sayanggg," Rayu Vir seraya memegang tangan Aruna dan mengecupinya terus menerus. Aruna tetap berjalan dan membiarkan Vir mengecupi tangannya hingga mereka berdua sampai di depan pintu lift umum.

Pintu lift terbuka dan Aruna masuk diikuti oleh Vir. Vir masih terus merengek, merayu dan menciumi punggung dan telapak tangan kanan Aruna.

Tombol turun ke lantai dasar di tekan oleh Aruna dan lift pun bergerak menurun.

Barulah Vir menjadi kalem saat lift mulai turun, dia menatap sekeliling dengan aneh dan kening berkerut. "Lift nya berbeda dengan yang biasa saya gunakan."

"Beda? Semua lift kan sama saja, Pak?" Sahut Aruna penasaran.

"Di luar jam kerja, panggil saya 'Sayang'." Bukannya menjawab, Vir malah meminta Aruna untuk memanggilnya dengan sebutan lebay.

Karena rasa ingin tahu lebih tinggi daripada egonya, akhirnya Aruna menuruti keinginan Vir. "Apanya yang beda, S-sayang?"

Sedikit aneh dan geli di rasakan oleh Aruna saat dirinya memanggil Sang atasan dengan sebutan 'Sayang'. Merinding merinding gitu loh.

Hati Vir menjadi berbunga-bunga. Dia menjawabnya dengan antusias. "Lift ini hanya terbuat dari baja dan bahan biasa, Lift yang biasa saya gunakan terbuat dari baja dan bahan biasa juga."

Dahi Aruna mengkerut bingung mendengar penjelasan Vir, "Lalu apa bedanya?"

"Tapi di lapisi oleh perak dan emas putih." Lanjut Vir santai.

"..."

Nyesel Aruna jadi manusia penasaran.

Ting!

Pintu Lift terbuka bertepatan dengan jiwa miskin Aruna yang meronta.

• • • •

"And-- kamu kenapa ikut turun dari mobil?" Tanya Aruna was-was saat melihat Vir yang juga turun dari dalam mobil, Aruna siaga lima.

"Tentu saja saya mau menyapa Mamah mertua." Monolog Vir santai.

Aruna menahan diri untuk tidak memutar bola matanya malas saat mendengar pernyataan Vir yang begitu percaya dirinya mengatakan 'Mamah mertua'.

Baru saja jadi pacar, sudah mengklaim Mamah mertua, Mamah mertua saja.

"Kamu mending pulang saja, Mamah aku pastinya lagi tidur." Kata Aruna mencari alasan agar Vir tidak mampir ke dalam Rumahnya. Aruna sudah tahu jika Vir sudah memiliki rencana kotor di otaknya itu.

"Ah," Desah Vir sedikit kecewa, dia mengangguk dan akan masuk kembali ke dalam mobilnya tapi tidak jadi karena sebuah suara merdu meneriaki keduanya dari arah pintu rumah Aruna.

Rini yang tidak tahu apa-apa, "LOH, KENAPA BERDIRI DI SITU, MOI? AYO AJAK MASUK BOS KAMU NYA!!"

Wajah Vir berubah menjadi antusias dan bersemangat, "Mamah kamu udah bangun dari tidurnya."

Bibir Aruna tersenyum lelah, dia akhirnya mengajak Vir untuk mampir..

Dan sore itu Aruna membantu Ibunya untuk memasak makanan yang lumayan banyak karena Vir akan makan malam di sini, di suruh oleh Rini, tentu saja Vir tidak menolak.

Rini terus terang mengatakan kehebatan Aruna dalam memasak. Vir juga mendengarkan dengan seksama dan memuji masakan Aruna yang lezat.

Meskipun menu makan malamnya hanya tumis kangkung, sambel terasi dan ikan teri goreng.

Sederhana tapi sangat enak.

Vir berkata jika ini akan menjadi makanan favoritnya. Rini juga mengatakan ini semua adalah makanan favorit Aruna, Vir menjadi semakin senang dan Aruna menjadi malu.

Ketiganya makan malam dengan penuh canda tawa, sambil lesehan di atas lantai yang di lapisi oleh karpet motif Barbie.

'Jadi ... Ini yang namanya 'keluarga','

Vir menatap Aruna dan Rini bergantian dengan tatapan penuh kelembutan. Dadanya menghangat karena percikan cinta keluarga ini.

Sederhana tapi bahagia.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang