Pagi sudah datang, matahari menyembulkan dirinya di arah timur. Kicauan burung membangunkan Aruna dari tidurnya, sensasi hangat menempel di pipinya.
"Good morning, Babe," Sapa Vir menyambut pagi hari yang cerah itu, Aruna menoleh dan tersenyum manis saat mendapatkan ciuman selamat pagi dari Sang suami.
"Selamat pagi juga, Suaminya aku."
Aruna bergerak untuk berbaring menyamping menghadap ke arah Vir tapi di hentikan oleh suaminya itu. "Jangan banyak bergerak, nanti itu-nya kamu berdarah lagi."
"Gak bakal, salep yang di kasih Kak Wilona ampuh, kok. Ini juga udah gak terlalu sakit." Ujar Aruna menenangkan Vir yang terlihat masih khawatir. Aruna berbaring menyamping dengan Vir yang terlihat was-was takut istrinya itu kenapa-napa.
Keduanya saling tatap dengan hangat, dalam jarak sedekat ini Vir bisa melihat jelas fitur wajah Indah istrinya itu. Alis hitam yang melengkung, sepasang iris mata cokelat redup yang selalu menatapnya dengan teduh dan bulu mata lebat itu seperti ujung kelopak bunga lonceng biru yang baru mekar. Hidung yang tidak mancung, pipi yang tembem dan bibir merah itu selalu menarik perhatian Vir sejak pertama kali berjumpa bertahun-tahun silam.
Angin berhembus menerbangkan dedaunan cokelat, matahari tenggelam di ufuk barat. Langit menggelap, lampu-lampu jalan di nyalakan saat bulan mulai bergerak menuju puncak.
Langkah kaki kecil itu sangat ringan tanpa beban, sebelah tangan gempalnya yang kecil menjinjing kantung plastik hitam.
Suara isak tangis menghentikan langkahnya, dia mundur selangkah dan menengok ke arah gang kecil di samping kanannya. Itu gelap gulita, tapi di ujung sana ada satu lampu jalan yang bersinar temaram, menyinari seonggok tubuh kecil yang tengah berjongkok sambil memeluk lututnya dan menangis terisak.
'Itu bukan tuyul, kan?' batin anak perempuan yang menjinjing kantung plastik hitam itu penasaran tapi juga takut. Dia melangkah ke dalam gang tersebut dan mendekati keberadaan anak kecil yang tengah menangis itu.
"Ha-hai?" Anak perempuan itu mencoba memanggilnya dengan hati-hati, khawatir jika anak kecil itu akan berlari.
Kepalanya terangkat dan menatap anak perempuan di arah kirinya dengan kedua mata berair nya, Si anak perempuan menyadari jika anak kecil itu adalah laki-laki jika di lihat dari kedua telinganya yang memakai anting.
"Kamu siapa?.. hiks," Pertanyaan itu keluar dari bibir si anak laki-laki yang masih terisak.
Anak perempuan berjalan lebih dekat dan berjongkok di samping kirinya, menyodorkan telapak tangannya. "Aku Cici, kamu kenapa nangis? Kamu sakit?"
Anak laki-laki itu menerima salaman perkenalan tersebut. "Aku Nunu. Tangan aku berdarah, sakit sekali hiks,"
Memang pada dasarnya seorang anak kecil itu sangat polos dan jujur, jika merasa sakit mereka akan menyuarakannya. Begitu juga anak laki-laki itu yang baru berusia sepuluh tahun.
"Aw, kasian banget kamu, Nunu.. emm, sebentar," Cici membuka kantung plastik hitamnya untuk mengambil sesuatu, dia mengeluarkan sebungkus hansaplast dan membukanya. "Mana tangan kamu yang lukanya? Sini aku obatin."
Nunu menyodorkan telapak tangan kirinya yang terdapat goresan kecil yang berdarah, Cici melihatnya dan meringis.
Cici mengelap sisian lukanya dengan menggunakan lengan pakaiannya, Anak laki-laki itu mendesis sakit dna Cici langsung meniup lukanya dengan pelan. Dia lalu menempelkan hansaplast untuk menutupi luka gores Nunu, mencegahnya kuman atau kotoran yang akan masuk ke dalam lukanya.
Setelah selesai menutupi lukanya, Cici kemudian mengecup telapak tangan yang sudah di balut hansaplast itu pelan. Dia tersenyum ke arah Nunu yang mengerjap lucu.
"Kata ayah aku kalo di cium, lukanya bakal cepet sembuh, hehe!" Perkataan seorang anak perempuan yang tidak mengerti apapun dan baru berusia tujuh tahun.
Pipi tembem itu sangat menggemaskan saat dia tersenyum, matanya membentuk bulan sabit dan bibirnya seperti pelangi yang melengkung ke atas. Benar-benar indah dan berwarna.
Anak kecil yang tidak mengerti apa itu jatuh cinta hanya bisa berkata di dalam hatinya.
'Aku mau Cici!'
"Sayang, kenapa ngelamun?"
Vir tersadar dari lamunannya pada masa lalu karena usapan lembut di pipinya, wajah chubby yang tengah tersenyum itu ada di hadapannya, Vir merasa sangat lega.
Setelah bertahun-tahun lamanya, waktu yang begitu menyiksanya dan masa lalu yang selalu menghantuinya hingga membuatnya menjadi tidak waras.
Kini, Cici sudah menjadi miliknya. Selamanya. Hanya miliknya. Aruna Cielo adalah miliknya.
Vir akan membunuh siapapun dan apapun yang berani mengambil Aruna darinya. Tapi jika Aruna yang berani pergi darinya, Vir tidak akan membunuhnya.
Dia hanya akan mengikatnya.. atau mungkin mematahkan kedua kakinya jika Aruna masih bisa melepaskan ikatannya.
Sebutlah Vir gila, karena itulah kenyataannya.
Jika dia adalah pria yang waras maka tidak mungkin terus ada berita yang begitu berdarah. Kasus kematian dan pembunuhan misterius.
Vier Zanu Zealand, pria itu adalah orang yang gila. Dia tergila-gila pada Aruna, dia mencintai Aruna, dia menginginkan Aruna. Hanya untuknya.
Pria tidak waras yang bersembunyi di balik kewarasan palsu yang dirinya buat sendiri hanya untuk mendapatkan Aruna.
"Tidak apa-apa, saya hanya terpesona oleh keindahan di depan mataku ini." Ujar Vir menggombal. Dia mengecup bibir Aruna dan memeluknya erat. Seolah ingin menyatukan jiwa dan raga Aruna padanya.
Aruna tentu saja membalas pelukan itu dengan wajah bahagia.
Vir tersenyum penuh makna. Matanya membendung rahasia besar. 'You. Mine. Aruna. Cielo.'
Pagi hari itu memang cerah, tapi di mana ada kecerahan maka pasti ada kegelapan di baliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]
Fanfiction[SUDAH TERBIT E-BOOK, TERSEDIA DI GOOGLE PLAY STORE DAN PLAYBOOK] Namanya Aruna Cielo, yang kerap di panggil 'Gemoi' oleh ibunya karena tubuhnya yang montok dan juga kenyal jika di cubit. Aruna niatnya sih mau kerja dengan tekun di tempatnya bekerj...