S2|49: Lancang.

12.2K 665 32
                                    

Aruna menutup mulutnya sendiri saat menatap foto-foto yang tertempel di dinding di depannya- tidak, lebih tepatnya di seluruh dinding di ruangan ini. Semuanya di lapisi oleh foto-fotonya.

Dari foto Aruna yang masih mengenakan seragam SMP, hingga fotonya yang tengah melakukan interview di perusahaan Z.E Croup. Banyaknya foto-foto itu di dinding membuat Aruna merinding bukan main.

Pencahayaan temaram membuat ruangan ini semakin terasa menyeramkan bagi Aruna.

Apa maksud semua ini? Kenapa di sini banyak sekali foto-fotonya sendiri? Apa Vir yang melakukan semua ini?

Aruna ingin menyangkalnya, tapi yang tinggal di rumah ini dulu hanya Vir dan dirinya saja. Tidak mungkin jika bukan Vir yang melakukan semua ini. Aruna maju mendekati dinding di depannya, tatapannya tertuju pada satu foto.

Itu foto Aruna saat tengah mengenakan pakaian setelah mandi, kedua matanya melotot ngeri melihat foto itu. Gila..

Foto-foto ini.. ini Vir yang melakukannya. Aruna memahami segalanya sekarang. Dirinya sudah dewasa, dirinya sudah tua sekarang. Tidak mungkin Aruna tidak mengerti setelah melihat apa yang ada di dalam ruang rahasia di balik dinding rumahnya Vir.

Vir telah membuntutinya selama itu, dia.. pria itu benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya sendiri.

Ternyata semua yang terjadi pada hidupnya selama ini bukanlah sekedar keberuntungan semata, tapi sudah di rencanakan oleh pria itu, Vier Zanu Zealand. Si pria penuh rencana misteri yang gelap.

Vir membohonginya selama ini. Kekecewaan Aruna pada Vir semakin meningkat.

Kenapa Vir tidak pernah mengatakan kejujuran pada Aruna?

Rasa kecewa, takut, marah dan sedih bergejolak menjadi satu di dalam hati Aruna. Selama itu dirinya hidup dalam kebohongan seorang Vir. Sebegitu polos dan naifnya Aruna dulu, mungkin sekarang pun begitu.

Pria itu.. dia tidak mencintainya, dia hanya terobsesi padanya.

Bajingan itu.. Aruna menggeleng, dirinya tidak bisa terus di sini bersama pria gila itu. Dirinya harus pergi, sudah tidak ada yang perlu di bicarakan baik-baik lagi. Semua itu sudah musnah.

Aruna mundur dan berbalik untuk pergi meninggalkan ruangan terkutuk ini. Suara 'BRUK' yang keras terdengar nyaring di dalam ruangan tertutup itu.

"Aw!" Aruna meringis ngilu saat wajahnya menubruk sesuatu yang padat dan kencang hingga memantulkan wajahnya kembali, dia menutup matanya sejenak merasakan rasa sakit di wajah terutama keningnya.

"Mau pergi kemana, Sayang?" Tanya Vir dengan senyuman lebar menatap Aruna di dalam pelukannya. "Buru-buru sekali."

Wanita montok di dalam pelukannya memberontak ingin melepaskan diri, Vir tidak melepaskannya, dia mengeratkan pelukannya dan berkata tanpa emosi apapun di dalamnya. "Perjuangan yang sia-sia."

"Lepas! Lepaskan saya!" Aruna meronta, memukul dan menginjak pria di hadapannya. Tapi itu tidak berefek apapun pada Vir, dia hanya menatap datar usaha-usaha kecil Aruna untuk lepas dari pelukannya.

"Lepaskan saya! Lepaskan! Apa yang anda inginkan?!" Sentak Aruna keras.

"Kamu. Hanya kamu." Jawab Vir apa adanya, ekspresinya berubah-ubah dengan begitu cepat.

"Manipulatif! Sampah! Gila! Bajingan!" Kata-kata kutukan itu terlontarkan dari bibir Aruna yang tidak pernah mengatakan umpatan apapun selama ini. Bibirnya memang tidak pernah, tapi batinnya sering.

Vir diam menerima caci maki dari Sang istri yang di tujukan untuknya. Dirinya tidak bisa mengelak, Vir mengakui, semua itu memang ada dalam dirinya.

Manipulatif. Sampah. Gila. Bajingan.

Bahkan dirinya lebih dari itu semua. Lebih sampah dari sampah. Lebih buruk dari keburukan.

Vir mengakui semua itu.

Tapi, dirinya tidak akan melepaskan Aruna dari cengkeramannya. Tidak akan pernah. Dia Aruna-nya. Dia kekasihnya. Dia istrinya. Dia miliknya.

Selamanya.

Akan tetap seperti itu.

"Lepaskan kamu?" Vir tertawa sumbang. "In your dreams."

Sepasang iris cokelat gelap itu menatap tepat ke dalam mata Aruna dengan dingin. Seolah ingin melubangi mata Aruna dengan tatapannya, Vir sebenarnya memiliki keinginan untuk mencokel kedua bola mata indah milik Aruna itu. Vir hanya ingin memiliki mata indah Aruna untuknya saja, dia hanya ingin Aruna menatapnya saja.

Tapi tidak, nanti Aruna-nya tidak menyukainya lagi.

"Pria gila! Lepaskan saya!" Aruna terus memberontak, tidak menyerah meksipun kondisi tubuhnya tidak lagi muda.

Aruna merutuki kekuatan Vir yang semakin tua bukannya menciut, malah makin membesar. Aneh Aruna tuh. Bukannya Aruna lemah, tapi memang sudah lumayan tua saja.

Lagian juga tubuh Aruna itu di lapisi lemak, bukan otot. Makanya sulit untuk melawan. Nyesel Aruna karena malas olahraga.

"Saya ingin bicara."

"Tidak ada yang perlu di bicarakan baik-baik lagi! Semuanya sudah jelas!" Sentak Aruna, dirinya memang sudah tua dan seharusnya bersikap lebih dewasa. Tapi itu semua tidak akan berguna jika orang yang berhadapan dengannya ini adalah pria gila.

"Diam, jangan berontak. Saya tidak ingin menyakiti kamu." Kata Vir tanpa ekspresi.

"Tidak ingin menyakiti saya? Hah! Kau sudah melakukan itu dari lama, bajingan!" Sungutnya merasa lucu mendengar perkataan Vir yang tidak ingin menyakitinya. Apa sembilan belas tahun lalu itu tidak menyakitinya? Ya, itu tidak menyakitinya.

Tapi menyakiti perasaannya.

"LEPASIN GUE, VIR!!" Nah kan, keluar kata-kata gaulnya yang tidak sopan. Aruna biasa menonton sinetron, jadi dia coba ikuti saja. Siapa tahu Vir melepaskannya juga seperti yang di sinetron-sinetron itu.

"Gue? ... Vir?" Ulang Vir merasa tercengang dengan kata-kata Aruna. Istrinya sedikit berubah.

Tatapannya kemudian semakin kelam karena tidak suka mendengarkan kata-kata itu keluar dari mulut istrinya. Tidak sopan sekali, sepertinya harus Vir disiplinkan mulut kasar istrinya itu nanti.

Nyalinya jadi menciut saat melihat ekspresi wajah Vir yang begitu menakutkan. Tindakan Aruna sepertinya salah, lebih buruk lagi, sangat salah.

Bahaya mengancam.

"Aaahhhh!! Turunin! Turunin!" Aruna menjerit-jerit saat tubuhnya di angkat oleh Vir dan di sampirkan ke pundak kirinya seperti tengah memanggul Karung beras bulog.

Sudah tua, apa Vir tidak takut terkena serangan encok? Biarin aja biarin.

"VIR! TURUN-- Ahw!"

"Lancang." Kata Vir tidak merasa bersalah sedikitpun setelah menampar keras pantat besar nan kenyal Aruna. Menegur sekaligus mengambil kesempatan bisa menyentuh pantat Aruna.

Vir, dengan Aruna di pundaknya, mereka berdua kemudian meninggalkan ruang rahasia tersebut. Dinding sebelah kiri lorong kembali seperti semula, seolah tidak pernah ada celah pintu menuju ruang rahasia di baliknya.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang