Vir tersenyum, tidak menyahut tapi kembali melanjutkan perkataannya. "Kamu tidak tahu apa yang saya rasakan dulu, bagaimana orang-orang memanggilku anak tidak waras yang terus menunggu di gang gelap dan sempit setiap hari. Tapi saya tidak menghiraukan mereka, saya lebih memilih untuk tetap fokus menunggu kamu datang kembali. Kamu memang tidak berjanji akan kembali, Tapi kamu berkata kita adalah teman. Tapi kemudian saya sadar jika kamu tidak akan pernah kembali lagi.. kamu pergi, meninggalkan seorang teman itu di sana. Sendirian, di dalam kegelapan malam tanpa bintang."
"Dulu saya hanya seorang anak yang tidak tahu apa-apa, seorang anak yang kesepian. Seorang anak yang membutuhkan teman dan kamu datang. Saya tentu saja merasa sangat senang." Vir mendongak menatap wajah Aruna yang terdiam, dia menyodorkan telapak tangannya ke arah Aruna. "Lihat, ini adalah bukti jika saya benar-benar mencintai kamu."
Mata Aruna tertuju pada bekas luka gores yang terdapat di telapak tangan Vir, dirinya tanpa sadar menggenggam tangan itu dan mengusap lembut bekas luka tersebut dengan khawatir.
"Saya sengaja membuat luka ini tidak pernah menghilang dari pandangan, anak berusia sepuluh tahun seharusnya tidak tahan dengan luka seperti ini tapi apa yang saya lakukan? Saya terus melukainya lebih dalam saat luka itu hampir menghilang, saya tidak ingin, saya tidak ingin luka ini menghilang dan kamu terlupakan." Dia menyenderkan kepalanya pada lengan Aruna. "Memang Bukan kamu yang melukainya tapi kamu yang mengobatinya."
"Luka ini selalu menjadi pengingat saya terhadap kamu. Saya memang gila, itu kenyataannya."
Hati Aruna menjadi sakit saat mendengar perkataan Vir, dia terus melukai dirinya sendiri demi tidak melupakannya? Kenapa?..
"Tapi kenapa kamu bohong sama aku?..." Pernyataan Aruna mengalun lirih mencapai telinga Vir, "Banyak sekali kebohongan yang kamu buat selama ini sama aku, sama kita semua."
".. Saya takut. Saya takut jika mengatakan yang sebenarnya, kamu akan pergi. Saya hanya tidak ingin kamu pergi, saya tidak ingin kehilangan kamu. Maka dari itu saya memilih untuk mengenakan topeng dan menyembunyikan diri saya yang sebenarnya di baliknya." Vir menatap sendu ke tembok di depan sana, dia tersenyum kecut. "Tapi serapat apapun saya menutupi bangkai, baunya akan tetap tercium. Bukan? Kamu bahkan sudah pergi sebelum kejujuran saya katakan."
"Tapi jika saja dulu kamu jujur sama aku.. semuanya gak bakal kaya gini. Di dalam suatu hubungan, saling percaya dan saling jujur itu penting." Ujar Aruna menatap surai hitam Vir.
"Maaf.. aku terlalu bodoh dulu." Vir menelusupkan wajahnya ke perut Aruna, merasa menyesal.
"Terus Foto-foto di ruangan itu, Kamu ngikutin aku berapa lama?" Aruna mengalihkan topik ke yang ini meksipun masih merinding mengingat ruang itu tapi dirinya juga butuh penjelasan dari pria di sampingnya ini.
"Saat kamu masuk jenjang sekolah menengah pertama. Sudah lama sekali. Kamu takut?"
Pake nanya lagi lu, kodok.
Aruna terdiam sejenak kemudian berujar. "Kamu lebih tua tiga tahun dari aku, kan? Berarti saat itu kamu juga baru masuk SMA?"
Vir mengangguk.
Aruna meneguk ludahnya merasa ngeri. Kenapa dirinya tidak sadar jika ada yang Stalker hidupnya selama itu dulu? Ah, Aruna hampir lupa jika Vir adalah Tuan muda pertama Zealand. Selain itu, Vir orangnya juga penuh teka-teki.
Aruna tidak kaget, tapi tetap kaget sih.
Bukan, bukan hanya dulu Vir Stalker hidup Aruna. Hingga sekarang pun pria gila itu masih membuntuti Aruna, bedanya sekarang mah lebih menonjolkan diri saja. Buktinya adalah sekarang ini dia membelenggu Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]
Fanfiction[SUDAH TERBIT E-BOOK, TERSEDIA DI GOOGLE PLAY STORE DAN PLAYBOOK] Namanya Aruna Cielo, yang kerap di panggil 'Gemoi' oleh ibunya karena tubuhnya yang montok dan juga kenyal jika di cubit. Aruna niatnya sih mau kerja dengan tekun di tempatnya bekerj...